Abraham Maslow pernah mengatakan, “Jika anda hanya punya sebuah palu, anda
akan cenderung melihat semua masalah sebagai paku”. Itu kecenderungan
manusia yang sekarang juga terlihat ketika menghadapi berbagai krisis: melihat
masalah dari sudut pandang yang sempit dan terspesialisasi.
Ketika terjadi krisis energi, upaya
penyelesaian hanya terfokus untuk mengatasi masalah kelangkaan energi, misalnya
dengan mencari ladang minyak baru, melakukan konversi penggunaan energi,
mengembangkan energi-energi terbarukan, dan melakukan upaya efisiensi. Juga
ketika terjadi krisis lingkungan, orang berupaya mulai melakukan konservasi
alam, mengurangi polusi, melakukan pengolahan limbah, mengendalikan emisi gas
buang, menggunakan bahan-bahan daur ulang untuk keperluan sehari-hari, melakukan gerakan
penghijauan, menyelamatkan satwa langka, dan banyak lagi. Tindakan itu semua
tentu saja bagus dan berguna, tapi tidak cukup.
Akibatnya, sebagian besar upaya
penyelesaian krisis hanya bersifat parsial dan sementara. Belum tampak upaya
penyelesaian yang komprehensif dengan melihat seluruh krisis yang ada sebagai
satu krisis besar peradaban manusia. Manusia perlu cara pandang yang baru untuk
mendapatkan gambaran persoalan yang lebih luas. Apa yang dilakukan manusia
dengan penyelesaian parsial seperti mengobati kanker dengan salep dan perban,
bukan mengangkat kanker yang menjadi sumber masalah.
Ada bahaya besar jika kita melakukan
pendekatan parsial seperti itu. Apalagi jika masalah tersebut dibesar-besarkan
oleh media secara tidak berimbang. Kondisi ini bisa membuat banyak orang terus
terjebak pada cara pandang keliru karena hanya terfokus pada masalah yang
tampak dipermukaan. Ini bisa mengalihkan manusia dari akar permasalahan yang
sebenarnya, yang seharusnya menjadi fokus perhatian.
Akibatnya, banyak orang yang punya niat
baik merasa puas telah ikut berpartisipasi menyelesaikan masalah dunia meski
pada saat yang sama justru mengabaikan akar permasalahan. Orang sudah merasa
ikut peduli dengan mengurangi konsumsi listrik di rumah atau kantor,
menggunakan mobil berbahan bakar bio-fuel, menolak kantong plastik saat belanja
di supermarket, dan hal-hal lain yang semacam itu tanpa pernah menyadari bahwa
akar masalahnya belum tersentuh sama sekali. Tidak adanya fokus penyelesaian
yang benar membuat banyak upaya penyelesaian yang didasari niat baik untuk
peduli tidak memiliki arah penyelesaian yang jelas dan hanya menjadi
penyelesaian dangkal yang bersifat sementara. Dalam beberapa kasus, berbagai upaya
penyelesaian krisis justru memperdalam krisis yang ada atau menambah krisis
baru.
Misalnya saja, dalam upaya mengatasi
masalah populasi penduduk dunia yang terus meningkat. Ide pengendalian populasi
muncul dari Thomas Malthus di Inggris pada tahun 1798. Ia mengkhawatirkan
populasi penduduk yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang terbatas.
Pemikiran Thomas Malthus menginspirasi Margaret Sanger yang pada tahun 1921
mendirikan American Birth Control League dan mempelopori gerakan keluarga
berencana.
Pada tahun 1968 Paul Ehrlich menulis sebuah
buku berjudul “The Population Bomb” yang
mengisyaratkan terjadinya ledakan populasi manusia jika tidak ada upaya
pengendalian jumlah penduduk. Pada saat yang hampir sama PBB mendirikan
organisasi untuk menangani masalah populasi (UNFPA, UN Fund for Population
Activities) yang mendorong gerakan keluarga berencana di berbagai negara.
Memang benar dalam dunia yang punya
keterbatasan, pertumbuhan populasi penduduk tanpa upaya pengendalian bisa
menimbulkan masalah. Tapi melihat solusi masalah populasi hanya dari sudut
pandang pengendalian tingkat kelahiran bisa menimbulkan masalah baru. Misalnya
saja kampanye masif penggunaan kontrasepsi yang justru mengakibatkan
meningkatnya aktivitas seksual ekstra-marital. Lalu banyak negara yang mulai
melegalkan aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bahkan pada tingkat yang
ekstrim pemerintah Cina mencanangkan gerakan satu keluarga satu anak. Jika ada
wanita yang hamil anak kedua atau hamil di luar nikah, pemerintah komunis Cina
akan memaksakan aborsi tidak peduli berapapun usia kehamilannya. Akhir-akhir
ini juga banyak negara yang mulai melegalkan pernikahan sesama jenis sebagai
alternatif gaya hidup yang tidak menghasilkan keturunan atau pertambahan
penduduk. Tentu saja alasan yang digunakan bukan masalah pengendalian populasi
tapi soal kebebasan dan hak asasi. Semua upaya-upaya di atas mungkin bisa
membantu pengendalian tingkat kelahiran untuk sementara waktu, akan tetapi
jelas menimbulkan masalah moral yang serius dan akan ada konsekuensinya.
Cara-cara tersebut tidak akan pernah dilakukan kalau saja manusia tahu akar
permasalahan yang sesungguhnya!
0 komentar:
Posting Komentar