Senin, 27 Oktober 2014

Revolusi Mental 6: Permasalahan Solusi Parsial

Abraham Maslow pernah mengatakan, “Jika anda hanya punya sebuah palu, anda akan cenderung melihat semua masalah sebagai paku”. Itu kecenderungan manusia yang sekarang juga terlihat ketika menghadapi berbagai krisis: melihat masalah dari sudut pandang yang sempit dan terspesialisasi.
Ketika terjadi krisis energi, upaya penyelesaian hanya terfokus untuk mengatasi masalah kelangkaan energi, misalnya dengan mencari ladang minyak baru, melakukan konversi penggunaan energi, mengembangkan energi-energi terbarukan, dan melakukan upaya efisiensi. Juga ketika terjadi krisis lingkungan, orang berupaya mulai melakukan konservasi alam, mengurangi polusi, melakukan pengolahan limbah, mengendalikan emisi gas buang, menggunakan bahan-bahan daur ulang untuk keperluan sehari-hari, melakukan gerakan penghijauan, menyelamatkan satwa langka, dan banyak lagi. Tindakan itu semua tentu saja bagus dan berguna, tapi tidak cukup.

Akibatnya, sebagian besar upaya penyelesaian krisis hanya bersifat parsial dan sementara. Belum tampak upaya penyelesaian yang komprehensif dengan melihat seluruh krisis yang ada sebagai satu krisis besar peradaban manusia. Manusia perlu cara pandang yang baru untuk mendapatkan gambaran persoalan yang lebih luas. Apa yang dilakukan manusia dengan penyelesaian parsial seperti mengobati kanker dengan salep dan perban, bukan mengangkat kanker yang menjadi sumber masalah.

Ada bahaya besar jika kita melakukan pendekatan parsial seperti itu. Apalagi jika masalah tersebut dibesar-besarkan oleh media secara tidak berimbang. Kondisi ini bisa membuat banyak orang terus terjebak pada cara pandang keliru karena hanya terfokus pada masalah yang tampak dipermukaan. Ini bisa mengalihkan manusia dari akar permasalahan yang sebenarnya, yang seharusnya menjadi fokus perhatian.

Akibatnya, banyak orang yang punya niat baik merasa puas telah ikut berpartisipasi menyelesaikan masalah dunia meski pada saat yang sama justru mengabaikan akar permasalahan. Orang sudah merasa ikut peduli dengan mengurangi konsumsi listrik di rumah atau kantor, menggunakan mobil berbahan bakar bio-fuel, menolak kantong plastik saat belanja di supermarket, dan hal-hal lain yang semacam itu tanpa pernah menyadari bahwa akar masalahnya belum tersentuh sama sekali. Tidak adanya fokus penyelesaian yang benar membuat banyak upaya penyelesaian yang didasari niat baik untuk peduli tidak memiliki arah penyelesaian yang jelas dan hanya menjadi penyelesaian dangkal yang bersifat sementara. Dalam beberapa kasus, berbagai upaya penyelesaian krisis justru memperdalam krisis yang ada atau menambah krisis baru.



Misalnya saja, dalam upaya mengatasi masalah populasi penduduk dunia yang terus meningkat. Ide pengendalian populasi muncul dari Thomas Malthus di Inggris pada tahun 1798. Ia mengkhawatirkan populasi penduduk yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang terbatas. Pemikiran Thomas Malthus menginspirasi Margaret Sanger yang pada tahun 1921 mendirikan American Birth Control League dan mempelopori gerakan keluarga berencana.

Pada tahun 1968 Paul Ehrlich menulis sebuah buku  berjudul “The Population Bomb” yang mengisyaratkan terjadinya ledakan populasi manusia jika tidak ada upaya pengendalian jumlah penduduk. Pada saat yang hampir sama PBB mendirikan organisasi untuk menangani masalah populasi (UNFPA, UN Fund for Population Activities) yang mendorong gerakan keluarga berencana di berbagai negara.

Memang benar dalam dunia yang punya keterbatasan, pertumbuhan populasi penduduk tanpa upaya pengendalian bisa menimbulkan masalah. Tapi melihat solusi masalah populasi hanya dari sudut pandang pengendalian tingkat kelahiran bisa menimbulkan masalah baru. Misalnya saja kampanye masif penggunaan kontrasepsi yang justru mengakibatkan meningkatnya aktivitas seksual ekstra-marital. Lalu banyak negara yang mulai melegalkan aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bahkan pada tingkat yang ekstrim pemerintah Cina mencanangkan gerakan satu keluarga satu anak. Jika ada wanita yang hamil anak kedua atau hamil di luar nikah, pemerintah komunis Cina akan memaksakan aborsi tidak peduli berapapun usia kehamilannya. Akhir-akhir ini juga banyak negara yang mulai melegalkan pernikahan sesama jenis sebagai alternatif gaya hidup yang tidak menghasilkan keturunan atau pertambahan penduduk. Tentu saja alasan yang digunakan bukan masalah pengendalian populasi tapi soal kebebasan dan hak asasi. Semua upaya-upaya di atas mungkin bisa membantu pengendalian tingkat kelahiran untuk sementara waktu, akan tetapi jelas menimbulkan masalah moral yang serius dan akan ada konsekuensinya. Cara-cara tersebut tidak akan pernah dilakukan kalau saja manusia tahu akar permasalahan yang sesungguhnya!

0 komentar:

Posting Komentar