Minggu, 26 Oktober 2014

Revolusi Mental 2: Batas-Batas Pertumbuhan

Kontroversi Pemanasan Global

Pada tahun 2006 ex-wakil presiden Amerika Serikat Al Gore tampil dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘An Inconvenient Truth’ yang mengkampanyekan bahaya pemanasan global akibat efek rumah kaca sebagai konsekuensi dari meningkatnya kadar gas CO2 yang berasal dari aktivitas manusia. Selain mengakibatkan cuaca yang ekstrim, efek pemanasan global yang cukup menonjol adalah mencairnya es di kutub yang bisa mengakibatkan naiknya permukaan air laut sehingga membuat banyak pulau serta negara yang akan terhapus dari peta bumi. Sudah pasti ini membangkitkan ketakutan bagi banyak orang yang tinggal di dataran rendah dekat pantai atau negara-negara kepulauan di pasifik.

Film ini sendiri cukup berhasil menyentak kesadaran dunia akan bahaya pemanasan global dan berhasil menyabet piala Oscar pada tahun 2007. Pada tahun 2007 itu juga, Al Gore bersama IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian karena upaya mereka membangun kesadaran dunia, atau mungkin lebih tepat: ketakutan dunia, akan bahaya pemanasan global dan perubahan iklim.

Tapi sayang sekali isu pemanasan global dan perubahan iklim segera berubah menjadi kontroversi politik yang berkepanjangan hingga menghambat berbagai langkah solusi yang seharusnya dilakukan. Bahkan belakangan istilah pemanasan global mengundang banyak kritik dan tidak begitu populer lagi karena ada masa-masa tertentu dimana yang terjadi justru pendinginan. Akibatnya, istilah perubahan iklim lebih sering digunakan karena menonjolnya fenomena cuaca ekstrim di berbagai belahan dunia.

Pendukung isu perubahan iklim mengindikasikan bahwa aktivitas manusia menjadi penyebab gejala perubahan iklim oleh sebab itu manusia perlu melakukan langkah-langkah dan perubahan untuk menghentikan gejala ini. Sementara itu para penentangnya berusaha menolak kesimpulan tersebut dan menyatakan bahwa itu semua terjadi karena pengaruh alam yang normal (misalnya: aktivitas matahari atau gunung berapi). Mereka berdalih tidak ada yang aneh dengan semua gejala alam yang ekstrim karena itu merupakan siklus alamiah yang selalu terjadi. Manusia tidak punya salah apa-apa dengan semua gejala alam ini.

Motivasi politis dan ekonomi juga dituduh sebagai penyebab munculnya isu perubahan iklim. Dari negara berkembang, isu ini dipandang sebagai upaya untuk menghentikan upaya mereka mengejar pertumbuhan ekonomi. Sementara itu di negara-negara industri, politisi sayap kanan menuduh isu ini dimaksudkan untuk menggantikan ideologi kapitalis dengan sistem sosialis atau bahkan komunis. Beberapa pihak malah menganggap isu perubahan iklim sebagai konspirasi untuk mewujudkan satu pemerintahan global yang otoriter.


Buku “The Limits To Growth”

Tiga dekade sebelum kontroversi perubahan iklim, tepatnya pada tahun 1972, sudah ada peringatan penting tentang masalah besar yang akan dihadapi peradaban manusia. Club of Rome, sebuah organisasi non profit yang memperhatikan permasalahan global, menerbitkan sebuah buku penting berjudul ‘The Limits To Growth’. Buku ini ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan MIT: Dennis Meadows, Jorgen Randers, Donella Meadows, dan William Behrens. 

Dalam buku tersebut mereka membuat beberapa model komputer untuk melihat pengaruh jejak ekologis manusia (human ecological footprint) terhadap kondisi planet bumi yang terbatas. Yang dimaksud dengan jejak ekologis manusia adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia terhadap alam, baik itu karena proses koloni maupun upaya-upaya eksplorasi sumber daya alam dengan berbagai tujuan. Yang menjadi pertimbangan LTG sebenarnya sederhana: planet bumi bagaimanapun punya keterbatasan sehingga semua bentuk pertumbuhan eksponensial tidak mungkin dibiarkan terus-menerus tanpa upaya pengendalian.



LTG ini menjadi buku tentang lingkungan yang terlaris sepanjang sejarah, terjual lebih dari 12 juta copy dan sudah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Sayang sekali buku ini hanya membangkitkan lebih banyak kontroversi ketimbang aksi yang produktif. Banyak media dan kritikus yang menganggap buku ini memprediksi kehancuran peradaban manusia di akhir abad 20 akibat kelangkaan energi dan kerusakan sumber daya alam. Padahal LTG sama sekali tidak bermaksud memberikan prediksi apa-apa, melainkan memberikan beberapa alternatif skenario yang mungkin terjadi berdasarkan berbagai faktor dan kondisi yang ada pada waktu itu.

Sayangnya kesempatan untuk melakukan perubahan ini tidak disorot oleh media dan kaum intelektual yang mengkritik LTG. Akibatnya pesan penting buku ini terabaikan dan tidak ada upaya yang serius untuk melakukan perubahan mendasar hingga akhirnya yang saat ini menjadi kenyataan adalah skenario buruk. Ini ditandai oleh terjadinya berbagai krisis.

0 komentar:

Posting Komentar