Kamis, 30 Oktober 2014

Revolusi Mental 10: Hilangnya Kemanusiaan

Krisis kemanusiaan terjadi ketika manusia secara kolektif telah kehilangan sebagian atau seluruh nilai-nilai kemanusiaannya sehingga tidak mengetahui lagi batas-batas antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang berharga dan tidak berharga. Tapi masalahnya, saat ini berlaku pandangan umum bahwa nilai-nilai kemanusiaan bersifat subyektif dan relatif, apa yang menurut sekelompok orang merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang penting bisa jadi tidak berarti apa-apa bagi kelompok lain. Agama yang berbeda-beda di dunia ini pada akhirnya juga mempengaruhi relatifnya nilai kemanusiaan.

Karena batasan-batasan yang subyektif ini maka krisis kemanusiaan memang sulit diukur secara kuantitatif. Ironisnya, pandangan yang mengatakan nilai kemanusiaan bersifat relatif dan subyektif sebenarnya justru menunjukkan adanya krisis kemanusiaan karena itu sama artinya dengan ini: manusia sudah tidak tahu lagi nilai-nilai kemanusiaan yang benar. Manusia seharusnya memiliki satu nilai kemanusiaan yang universal dan absolut. Hanya saja saat ini harus dengan rendah hati diakui bahwa manusia belum mencapai kesadaran itu. Perlu proses yang tidak sederhana dan panjang untuk sampai pada kesadaran itu. Tapi setidaknya ada suatu nilai bersama yang bisa diterima sebagai nilai kemanusiaan universal untuk saat ini, yaitu bahwa hidup manusia berharga karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling berharga. Ini standar minimal yang bisa diterima secara umum. Oleh karenanya setiap tindakan yang merugikan, membahayakan atau merendahkan hidup manusia harus disepakati semua agama sebagai tindakan yang tidak manusiawi.

Krisis kemanusiaan menjadi sangat berbahaya karena manusia bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif yang merugikan dan membahayakan banyak orang dengan penuh kesadaran dan tanpa rasa bersalah. Manusia sudah tidak menghargai dan tidak lagi peduli pada hidup manusia lainnya. Bom bunuh diri, pembantaian masal, genosida, pembantaian rakyat sipil dalam peperangan, meledakkan bom atom, dan pembakaran hutan adalah contohnya. Dibandingkan semua krisis lainnya, krisis kemanusiaan adalah krisis yang paling mengancam peradaban manusia. Tidak berlebihan jika saya mengatakan krisis kemanusiaan adalah inti sesungguhnya dari krisis peradaban.

Sejak revolusi industri, demi pertumbuhan ekonomi dan bergeraknya mesin-mesin industri manusia memang terus dijejali dengan semangat materialisme dan konsumerisme. Semangat ini tentu saja tidak sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang berasal dari agama. Manusia tidak bisa memiliki dua tuan, oleh karenanya demi pertumbuhan ekonomi manusia secara sistematis juga dijauhkan dari Tuhan dan nilai-nilai agama.

Cara-cara sistematis itu antara lain dengan menempatkan sains dan teknologi lebih penting dari agama. Lalu menyibukkan manusia dengan berbagai kesenangan dan keinginan duniawi seperti mengembangkan industri hiburan secara berlebihan. Misalnya saja, berkembang pesatnya hiburan audio dan visual di berbagai media (termasuk internet) yang terus mengeksploitasi naluri-naluri dasar manusia ataupun berbagai kegiatan pertandingan olah raga yang terus membuat orang rela menghabiskan waktu berharga yang seharusnya disediakan bagi Tuhan. Tidak perlu heran jika industri pornografi menjadi industri yang terbesar di internet dan banyak orang di Eropa dan Amerika Latin yang dengan bangga menjadikan sepakbola menjadi agama baru mereka. Sementara itu dunia akademis juga dibuat semakin sekuler dengan berbagai alasan ilmiah yang semu.

Jika kita cukup kritis, masih ada banyak contoh-contoh upaya sistematis yang dilakukan untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Tapi cukuplah kita tahu bahwa upaya sistematis itu memang ada demi satu tujuan utama: mendukung kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini sebuah kesalahan fatal yang harus dibayar sangat mahal. Hanya dari Tuhan saja manusia bisa menemukan nilai manusiawinya yang sejati, ketika manusia dijauhkan dari Tuhan maka kemanusiaannyapun ikut hilang.

Bisakah anda membayangkan apa yang terjadi jika anda berada di tengah hutan belantara dan tiba-tiba kehilangan GPS, peta dan kompas? Itulah yang terjadi ketika manusia tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai pedoman kebenaran dan sumber nilai-nilai kemanusiaan. Manusia kehilangan arah dan akan berjalan menurut naluri serta logikanya yang serba terbatas, yang hanya akan membuatnya semakin tersesat ke dalam hutan.

Sayangnya proses hilangnya nilai kemanusiaan ini seperti kanker ganas yang menyerang diam-diam dari dalam tubuh. Kehadirannya baru diketahui setelah parah dan merusak banyak organ tubuh. Demikian juga kemanusiaan yang hilang ini baru mulai disadari sebagai masalah ketika membuahkan banyak krisis yang mengancam peradaban manusia.



Kultur Kematian Dan Peradaban Tanpa Harapan

Ketika Tuhan sudah tidak lagi menjadi bagian terpenting kehidupan maka manusia kehilangan tiga hal ini: jalan, kebenaran, dan hidup. Tiga hal penting itulah yang akhirnya membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan menjadi penyebab berbagai krisis yang menghancurkan peradaban.
Dalam konteks membangun peradaban masa depan, kehilangan jalan berarti tidak tahu alternatif apa yang harus dipilih untuk membangun peradaban. Manusia tersesat dan apapun yang dilakukannya hanya akan membuahkan krisis yang makin dalam. Kehilangan kebenaran berarti juga kehilangan nilai-nilai kehidupan dan visi peradaban: manusia tidak tahu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga manusia tidak tahu peradaban seperti apa yang harus dibangun di masa depan. Visi peradaban yang dimiliki manusia hanyalah visi-visi pragmatis yang berbeda-beda dari berbagai kelompok yang sudah kehilangan kemanusiaannya. Kalaupun manusia berhasil menyepakati sebuah visi peradaban global bersama, tidak ada jaminan visi peradaban duniawi yang dibangun tanpa menyertakan Tuhan adalah peradaban yang ideal dan berlangsung lama. Kesombongan dan keangkuhan manusia yang merasa mampu membangun masa depan tanpa Tuhan menjadi jaminan bahwa visi peradaban semacam itu akan gagal. Sejarah sudah berkali-kali membuktikan ini dan manusia seharusnya belajar untuk tidak mengulangi lagi. Sementara itu kehilangan hidup berarti juga kehilangan sumber kekuatan surgawi yang membuat manusia dapat menjalani hidup secara manusiawi dan mampu menempuh jalan menuju peradaban masa depan yang ideal.

Kalau manusia sudah kehilangan jalan, kebenaran, dan hidup, lalu peradaban seperti apa yang akan dibangun? Manusia yang sudah kehilangan kemanusiaannya hanya akan membangun kultur kematian dan merancang kehancurannya sendiri. Inilah yang terjadi pada peradaban manusia saat ini.
Dengan kultur kematian, sangat ironis, manusia mulai melihat kehidupan sebagai bencana. Contohnya, ketika berhadapan dengan berbagai krisis maka yang dilihat sebagai masalah serius adalah pertumbuhan populasi (kehidupan), bukan pertumbuhan ekonomi. Dan sebaliknya, manusia mulai melihat kematian sebagai solusi. Contohnya, Cina dengan kebijakan satu keluarga satu anak, aborsi (kematian) jadi pilihan yang dipaksakan kepada pasangan yang memiliki anak lebih dari satu. Bahkan sekarang di banyak negara aborsi dilegalkan dengan syarat-syarat tertentu. Di Indonesia yang mengaku negara ber-Tuhan misalnya, pada tahun 2014 telah diterbitkan sebuah peraturan presiden yang melegalkan aborsi bagi kehamilan di bawah usia 40 hari dengan alasan-alasan tertentu seperti korban perkosaan atau adanya kemungkinan cacat berdasarkan indikasi medis.

Ini semua merupakan tanda-tanda jelas kuatnya kultur kematian di dalam peradaban manusia sekarang ini, sebuah kultur kehidupan tanpa Tuhan yang sudah kehilangan harapan. Jika kehidupan sudah dipandang sebagai bencana dan sebaliknya kematian dianggap sebagai solusi maka masih mungkinkah bisa dihasilkan sesuatu yang baik dari kultur kematian semacam ini? Pohon yang buruk hanya akan menghasilkan buah yang buruk. Demikian juga kultur kematian hanya akan menghasilkan kehancuran peradaban.

Tapi harapan untuk membangun peradaban masa depan manusia masih terbuka kalau saja manusia mau menghentikan kultur kematian ini dan dengan rendah hati mau kembali berpaling pada Tuhan untuk memulihkan kemanusiaannya. Tidak ada jalan lain.



1 komentar:

  1. Buku yang sangat,sangat,sangat bagus sekali untuk masyarakat dunia baca. Terimakasih Bung Agustinus. Kalau boleh saya hendak lanjutkan doa-Nya "...berilah kami makanan kami secukupnya" (Ekonomi Keadaan Tunak) seperti yang dipraktekkan oleh murid-murid-Nya wkt itu kecuali Ananias dan Safira. GBU

    BalasHapus