Minggu, 02 November 2014

Revolusi Mental 14: Doa Berulang-ulang

Revolusi Mental tidak akan berguna apa-apa jika hanya berhenti sebagai konsep yang sekedar memberi inspirasi. Revolusi Mental adalah gerakan nyata yang harus bisa menjadi sumber kekuatan perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya, Revolusi Mental pada dasarnya adalah gerakan ‘back to God’, kembali berpaling dan mengandalkan Tuhan untuk mengubah manusia lama dalam diri kita menjadi manusia baru. Jadi dalam Revolusi Mental yang akan mengubah kita menjadi manusia baru bukanlah upaya dan kekuatan kita  sendiri melainkan kekuatan dan rahmat dari Tuhan.

Revolusi Mental juga tidak bisa dilakukan hanya melalui proses intelektual. Krisis peradaban sudah memberi manusia pelajaran yang sangat berharga untuk tidak lagi meninggalkan Tuhan dan hanya mengandalkan pencapaian akal budi manusiawinya saja. Oleh karenanya Revolusi Mental menjadikan keterlibatan Tuhan mutlak harus ada dalam setiap prosesnya. Dengan demikian Revolusi Mental juga melibatkan spiritualitas di dalamnya. Cara yang digunakan dalam Revolusi Mental sangat sederhana dan dapat dipraktekkan setiap orang, yaitu dengan doa singkat yang diucapkan berulang-ulang. Dengan mengucapkan doa ini setiap hari sesering mungkin maka doa ini akan menjadi bagian dari kesadaran hidup seseorang dan membawa perubahan yang besar.


Doa berulang-ulang seperti ini sangat umum dilakukan oleh semua orang yang menjalani hidup spiritual. Jenis doa ini sudah menjadi bagian dari tradisi spiritual yang ada pada banyak agama besar seperti Hindu, Budha, Yahudi, Katolik, Ortodoks, Kristen Protestan, dan Islam. Dalam tradisi spiritual Hindu dan Budha, doa yang berulang-ulang ini biasanya menjadi bagian dari meditasi spiritual. Orang Katolik punya tradisi doa berulang-ulang semacam ini misalnya dalam Doa Rosario ataupun dalam Doa Koronka (Kerahiman Ilahi). Penganut Gereja Ortodoks juga sangat akrab dengan Doa Yesus yang tidak lain adalah doa singkat yang diucapkan berulang-ulang. Demikian juga dalam tradisi agama Islam, cara berdoa seperti ini dikenal dengan nama dzikir dan biasa dilakukan dengan menggunakan bantuan tasbih. Meskipun relatif baru, dalam kalangan Protestan cara berdoa semacam ini juga mulai diterima, misalnya oleh Gereja Anglikan dan Lutheran.

Jadi doa berulang-ulang ini adalah sebuah cara yang sangat umum, digunakan sejak lama, sudah teruji oleh jaman, dan bisa diterima oleh banyak agama. Bisa dikatakan cara ini sangat universal. Revolusi Mental akan menggunakan cara ini dan membuatnya menjadi sumber kekuatan spiritual sehari-hari yang dibutuhkan untuk mengubah manusia lama menjadi manusia baru.

Revoluri Mental 13: Menemukan Kembali Kemanusiaan Yang Hilang

Revolusi Mental adalah transformasi radikal dari manusia lama yang menjadi sumber krisis peradaban menjadi manusia baru yang kembali hidup dalam kemanusiaannya. Yang diubah dalam Revolusi Mental adalah kualitas manusia, yaitu karakter, sikap mental, dan sudut pandangnya terhadap kehidupan.

Tapi sekarang kemanusiaan seperti apa yang menjadi tujuan perubahan dari Revolusi Mental? Tanpa tujuan yang jelas perubahan yang dilakukan hanyalah sekedar perubahan, bukan perbaikan. Bisa jadi manusia hanya akan mengulangi kesalahan yang sama. Selain itu kita juga tidak bisa mengambil nilai-nilai kemanusiaan ini berdasarkan hasil kompromi atau penalaran akal budi, karena kemanusiaan semacam itu bersifat relatif, spekulatif. dan belum teruji oleh jaman. Resikonya terlalu tinggi.

Solusinya, jika manusia percaya bahwa Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam semesta, maka tentunya Tuhan jugalah yang tahu nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya. Setiap kali kita membeli produk buatan manusia, biasanya akan dilengkapi dengan buku manual yang menjelaskan bagaimana seharusnya kita mengoperasikan produk itu dengan benar. Dengan analogi itu, pasti Tuhan yang menciptakan kita juga memberikan buku manual yang membantu kita mengetahui seperti apa kemanusiaan kita yang sesungguhnya dan bagaimana kita harus menjalankan kehidupan di bumi yang terbatas ini dengan benar.

Sejak revolusi industri, manusia sedikit demi sedikit telah meninggalkan agama dan menggantikannya dengan sains dan teknologi. Dengan demikian manusia telah melupakan buku manual yang diberikan Tuhan dan memilih nilai-nilai kemanusiaan yang dirancangnya sendiri. Mekipun mereka membaca manual pemberian Tuhan ini namun mereka tidak mengerti isinya karena tidak benar-benar mempercayainya. Maka tidak heran kalau manusia hidup dengan cara yang salah, tidak tahu lagi bagaimana berinteraksi dengan alam, dan membangun peradaban yang keliru.
Revolusi Mental mengajak manusia kembali berpaling pada Tuhan dan hidup berdasarkan buku manual yang telah diberikan-Nya kepada manusia, yaitu ajaran agama. Nilai kemanusiaan yang diajarkan Tuhan kepada manusia inilah yang menjadi sumber dari Revolusi Mental. Boleh juga dikatakan bahwa Revolusi Mental adalah gerakan ‘back to God’ yang bertujuan membangun peradaban baru yang lebih baik.


Setiap orang bisa mulai melakukan Revolusi Mental berdasarkan ajaran agamanya masing-masing. Tidak masalah bahwa agama yang berbeda-beda tentu memiliki konsep kemanusiaan yang berbeda-beda juga (saya bukan seorang indiferentis yang percaya semua agama punya ajaran yang sama). Mungkin saja konsep yang berbeda itu membuat visi manusia ideal yang diharapkan setiap orang juga menjadi berbeda-beda. Tapi sesungguhnya hal itu bukanlah hambatan, itu baru menjadi masalah besar kalau kita tidak mengandalkan Tuhan dalam melakukan perubahan. Tanpa keterlibatan Tuhan maka perbedaan visi kemanusiaan ini akan menimbulkan masalah yang rumit dan sulit dicari kata sepakat. Tapi jika kita mengandalkan Tuhan, dan Revolusi Mental ini dilakukan dengan kejujuran serta ketulusan, maka bukan lagi manusia melainkan Tuhan sendiri yang akan membimbing setiap orang untuk memahami kemanusiaan sejati dan universal yang dimaksud-Nya.

Yang harus diingat, prinsip dasar Revolusi Mental adalah ini: melalui pertolongan Tuhan kita berpaling dari manusia lama yang (sedikit atau banyak) menjadi rusak oleh semangat materialisme menjadi manusia baru yang kaya akan nilai-nilai spiritual. Berubah dari manusia yang terobsesi pada pertumbuhan ekonomi menjadi manusia yang berorientasi pada keseimbangan dan harmoni. Dari manusia yang individualistis menjadi manusia yang berorientasi pada komunitas. Dari manusia yang terbiasa mengeksploitasi alam menjadi manusia yang peduli pada kelestarian alam.

Sekali lagi, tidak menjadi masalah dari titik mana (atau dari agama apapun) orang memulai proses perubahan, jika Revolusi Mental ini dijalankan dengan ketulusan dan kejujuran, saya yakin Tuhan sendirilah yang akan membimbing dan membentuk setiap orang untuk menjadi manusia seperti yang Dia inginkan. Pada dasarnya Tuhan menerima setiap orang apa adanya (dari agama apapun, dalam kondisi apapun), tapi Dia tidak akan membiarkan setiap manusia apa adanya. Tuhan akan mentransformasi setiap orang yang kembali kepada-Nya menjadi manusia yang lebih baik. Dalam proses transformasi ini Tuhan sendiri yang akan memberi inspirasi (dan melakukan intervensi jika dibutuhkan) perubahan apa yang dibutuhkan setiap orang untuk menjadi lebih manusiawi dalam hidup yang berpusat pada Tuhan.

Jika globalisasi dan teknologi komunikasi telah mengikis sekat-sekat perbedaan geografis, maka Revolusi Mental akan mengikis sekat-sekat perbedaan agama. Perbedaan geografis tetap ada, tapi sekarang bukan lagi menjadi penghalang untuk membangun komunitas global. Demikian juga perbedaan agama akan tetap ada (Revolusi Mental menolak sikap indiferentisme), tapi itu bukan penghalang bagi semua orang untuk menyadari bahwa kita semua punya masalah yang sama dan sama-sama pula ingin membangun kembali kemanusiaan kita demi masa depan yang lebih baik.
Revolusi Mental mengubah peradaban dunia dengan cara mengubah manusia lebih dahulu, dan ini semua tentunya harus dimulai dari diri sendiri dan bukan menuntutnya dari orang lain. Lebih baik mencungkil balok yang ada di mata sendiri dari pada mengurusi debu di mata orang lain. Dengan mulai mengubah diri sendiri maka kita bisa mengubah keadaan di sekitar kita menjadi lebih baik.
Revolusi Mental tidak berbicara soal membangun sistem ideologi atau tatanan dunia yang baru. Sesuai dengan namanya, Revolusi Mental bukanlah gerakan fisik yang berupaya membangun sistem alternatif dengan meruntuhkan sistem yang lama, melainkan sebuah gerakan non-fisik yang mengubah semangat dunia dengan berawal dari perubahan diri.

Bagaimanakah manusia bisa berbicara soal sistem peradaban atau tatanan dunia yang baru jika mereka yang merancangnya masih manusia lama dengan segala paradigma yang keliru? Bukankah pohon yang buruk hanya menghasilkan buah yang buruk? Oleh karenanya Revolusi Mental memilih untuk fokus pada perubahan mental diri sendiri yang berorientasi untuk membangun peradaban baru yang berpusat pada Tuhan. Apabila manusia sudah menemukan kembali kemanusiaannya yang sejati maka manusiapun akan mampu membangun tatanan dunia yang lebih baik. Hanya dengan cara ini kita bisa berharap semoga peradaban baru yang ideal akan terwujud.

Sabtu, 01 November 2014

Revolusi Mental 12: Solusi Alternatif

Setidaknya ada satu hal baik yang bisa didapat dari krisis peradaban yang sedang terjadi. Krisis ini semacam peringatan yang bisa menyadarkan manusia bahwa ada sesuatu yang salah dan perlu segera diperbaiki sebelum krisis berubah menjadi bencana. Ini merupakan kesempatan untuk mereformasi peradaban manusia. Tapi hampir semua upaya terbaik yang bisa dilakukan manusia sudah dicoba dan masih belum memberikan hasil. Contohnya, krisis ekonomi dunia yang memakan biaya pemulihan begitu fantastis masih belum juga membuat dunia lepas dari krisis.

Saya tetap percaya kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan dengan cara memfokuskan perbaikan pada akar masalah: manusia. Revolusi industri dengan semangat pertumbuhan ekonomi telah membuat manusia kehilangan kemanusiaannya.  Dan ini menjadi sumber semua krisis yang sekarang bermunculan. Upaya merestorasi kembali nilai-nilai kemanusiaan yang hilang ini harus menjadi fokus dalam upaya mengatasi krisis peradaban. Tentu saja upaya penanganan parsial setiap krisis tetap diperlukan dan tetap penting, tetapi perbaikan manusia harus menjadi fokus utama yang tidak bisa diabaikan. Jangan pernah berharap manusia bisa menyelesaikan krisis peradaban ini kalau akar masalah ini tidak tersentuh.

Ini bisa diumpamakan seperti seseorang yang memiliki pola hidup yang tidak sehat seperti kondisi rumah yang kotor, pola makan yang salah dan sebagainya. Ketika orang itu jatuh sakit, tentu saja dia harus ke dokter. Tapi biaya perawatan dan obat yang mahal akan terbuang sia-sia jika pola hidup yang tidak sehat tetap dijalankan. Kesembuhannya hanya sementara dan dalam waktu yang tidak lama ia akan jatuh sakit lagi, mungkin dengan kondisi yang lebih parah.



Saya tidak ingin memandang krisis peradaban ini dengan kaca mata pesimis dan dibayangi oleh ketakutan akan masa depan yang suram. Memang krisis yang terjadi adalah suatu kenyataan pahit yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi ada harapan besar bahwa manusia bisa mengatasi krisis peradaban dengan mulai memperbaiki akar masalah, yaitu melakukan transformasi mental untuk menemukan kembali kemanusiaan yang hilang. Dengan kata lain, manusia harus melakukan Revolusi Mental. Bersama dengan upaya-upaya solusi yang lain Revolusi Mental akan menjadi kunci bagi manusia untuk melewati semua krisis yang terjadi, sekaligus menjadi titik awal untuk membangun sebuah peradaban baru yang lebih baik.

Istilah Revolusi Mental terinspirasi dari sebuah event pemilihan presiden di Indonesia pada tahun 2014. Pada waktu itu salah seorang kandidat presiden yang difavoritkan, Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi, didesak oleh pers untuk menjelaskan visi dan misinya untuk Indonesia. Meskipun kedekatannya dengan rakyat menjadikannya seorang favorit, tapi dalam soal visi dan misi banyak orang mengira ia akan kalah dari kandidat lainnya yang sudah mempersiapkan diri selama 5 tahun. Jokowi baru mempersiapkan diri menjadi kandidat presiden dalam 3 bulan terakhir setelah diminta oleh banyak orang. Tapi jawaban yang diberikan Jokowi sangat mengejutkan banyak orang, “Revolusi mental!” Jokowi menyadari bahwa persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sangat besar dan kompleks, maka proses perbaikan yang bisa membuat negaranya maju harus dimulai dari perbaikan manusia. Revolusi mental yang dimaksud Jokowi memang harus didefinisikan kembali seperti apa bentuk kongkritnya, tapi arahnya sudah sangat tepat.

Saya berpikir ini pendekatan yang sangat bagus dan bisa digunakan juga untuk mengatasi krisis peradaban dunia. Gagasan membangun masa depan yang lebih baik dengan memfokuskan pada upaya perbaikan manusia dapat diterapkan juga pada tingkat global.

Meskipun istilah Revolusi Mental terinspirasi oleh event politik, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan afiliasi politik atau ideologi tertentu. Spiritualitas yang ada di baliknya sudah saya tekuni sejak tahun 1996 dan mewarnai kehidupan spiritualitas saya pribadi. Secara intuitif saya merasa bahwa spiritualitas ini juga bisa diterapkan untuk melakukan Revolusi Mental secara global. Kemudian saya mencoba menggali dan mengadaptasi spiritualitas ini segenerik mungkin agar bisa diterapkan dan diikuti oleh siapapun yang ingin berpartisipasi membangun masa depan peradaban dunia yang lebih baik tanpa memandang afiliasi politik, ideologi, ataupun agama.

Revolusi Mental11: Pertarungan Dua Kubu

Sejak kemunculannya buku LTG telah menuai kontroversi. Karena semangatnya yang berupaya menggugah kesadaran akan bahaya dari kemajuan peradaban, buku ini dikategorikan sebagai bagian dari gerakan anti-kemapanan yang muncul sejak awal tahun 60-an. Gerakan anti kemapanan yang diantaranya dimulai dari Rachel Carson dengan bukunya ‘Silent Spring’ yang mengkritik penggunaan DDT, lalu gerakan kaum hippie menentang perang Vietnam, hingga buku ‘The Population Bomb’ karya Paul Ehrlich.

Beberapa dekade kemudian LTG diperbaharui dan diterbitkan kembali sampai dua kali. Pesannya tetap sama karena menurut Dennis Meadows apa yang disampaikan dalam LTG semakin relevan dengan kondisi yang terjadi. Tapi kritik-kritik terhadap LTG kembali bermunculan.

Hal yang sama juga dialami oleh kampanya pemanasan global / perubahan iklim. Setelah ex-wakil presiden AS Al Gore sukses dengan film ‘An Inconvenient Truth’ dengan mendapatkan piala Oscar untuk kategori film dokumenter serta hadiah Nobel perdamaian, kampanye pemanasan globalnya mendapat kritikan pedas di mana-mana. Mulai dari materi filmnya yang dianggap tidak ilmiah dan menyesatkan sampai kepada tudingan komersialisasi isu pemanasan global.

Perubahan VS Status Quo

Tidak jelas kapan perdebatan yang berlangsung puluhan tahun tanpa hasil ini akan berakhir. Perdebatan ini pada akhirnya tidak menyangkut fakta obyektif, tapi sudah bersifat politis. Sekalipun IPCC dan banyak ilmuwan sudah menyatakan bahwa perubahan iklim adalah fakta ilmiah, perdebatan tetap berlanjut. Semakin terlihat bahwa sebenarnya yang terjadi bukan perdebatan ilmiah, tapi pertarungan antara dua kelompok. Yang satu adalah kelompok yang menginginkan perubahan demi masa depan yang lebih baik dengan terus mengkampanyekan berbagai masalah dan menuntut perubahan. Mereka sering juga disebut sebagai kaum alarmist. Lainnya adalah kelompok yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah mutlak diperlukan demi berlangsungnya peradaban.

Bagi kelompok kedua, sebut saja kelompok skeptis, perubahan boleh saja dilakukan asalkan tidak menyentuh kepentingan mereka yang masih sangat bergantung pada aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Semua perubahan yang menuntut pengurangan aktivitas ekonomi dan industri, atau bahkan tuntutan untuk menghentikan pertumbuhan ekonomi dianggap terlalu mahal untuk direalisasikan dan tidak mungkin dipenuhi. Jika perubahan itu terjadi maka dominasi mereka terhadap dunia yang sudah berlangsung selama berabad-abad akan berakhir. Bisa dipahami jika mereka akan mengupayakan dengan segala kekuatan yang mereka punya untuk mencegah ini terjadi. Masalahnya, kelompok ini didukung oleh kekuatan modal yang sangat kuat, ekonom-ekonom dunia, politikus pemegang kendali pemerintahan, dan media-media besar.

Jika ini terus menerus berlangsung maka apa yang ditakutkan oleh Dennis Meadows dan kawan-kawan bahwa perubahan yang seharusnya segera dilakukan terhambat oleh berbagai perdebatan akan menjadi kenyataan. Ini berarti bahwa dunia akan terus bergerak masuk ke dalam kondisi overshoot, atau dengan kata lain peradaban akan mengalami kolaps.

Kekuatan Rakyat

Memang masih spekulatif, jika kondisi yang ada dengan segala krisisnya berlangsung terus tanpa perubahan maka peradaban manusia akan mengalami kolaps atau tidak. Tidak ada seorangpun yang tahu. Tapi alangkah bijaksananya jika kita tidak mengambil resiko itu. Penyesalan mungkin akan sangat terlambat.

Berbagai krisis yang ada sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dan harus segera dilakukan perubahan. Setidaknya secara intuitif. Perubahan ini perlu dilakukan bukan hanya karena kita takut akan masa depan yang suram dan penuh bencana, tapi terutama karena kita tahu ada yang salah dengan kondisi yang ada saat ini dan kita ingin memperbaiki kesalahan itu. Hanya dengan cara ini kita bisa membangun masa depan yang lebih baik. Kita tidak ingin mengambil resiko yang berbahaya untuk masa depan kita, ataupun membiarkan anak-cucu kita menerima resiko tersebut hanya karena kita tidak ingin berubah.



Melihat perdebatan yang telah berlangsung selama berpuluh-tahun tanpa hasil kita pesimis bisa dicapai kata sepakat dalam waktu dekat. Kita tidak punya waktu untuk menunggu puluhan tahun lagi dan perubahan harus dimulai sekarang juga. Semakin cepat perubahan dilakukan, akan semakin baik hasilnya. Oleh karena itu tidak banyak gunanya menunggu elit-elit penguasa mencapai kata sepakat tentang apa yang harus dilakukan. Semua orang yang berkehendak baik bisa membangun jaringan perubahan global, kemudian bersama-sama menyebarkan gagasan dan gerakan perubahan menuju masa depan yang lebih baik ke orang lain sebanyak mungkin sehingga menjadi kekuatan rakyat yang signifikan. Ini akan menjadi kekuatan ketiga, yaitu kaum revolusioner, atau mungkin lebih tepat kaum transformis, yang memilih untuk melakukan perubahan (dimulai dari diri sendiri).
Gerakan rakyat semacam ini tidak perlu menimbulkan gejolak dan perlawanan dari golongan manapun karena gerakan ini pada dasarnya tidak melawan siapapun selain mengubah diri sendiri menjadi lebih baik. Taktik semacam ini dalam bentuk yang berbeda pernah berhasil dilakukan oleh Mahatma Gandhi dengan gerakan non-kooperatif yang mampu memaksa pemerintah kolonial Inggris memberikan kemerdekaan kepada India. Maka gerakan perubahan diri untuk membangun peradaban yang lebih baik sebagaimana yang ingin diwujudkan dalam gerakan Revolusi Mental, jika dilakukan oleh banyak orang di seluruh dunia akan mampu secara efektif memaksa kaum elit penguasa untuk melakukan perubahan.

Bersama-sama kita bisa katakan ‘tidak’ pada materialisme, katakan ‘tidak’ pada konsumerisme, katakan ‘tidak’ pada pertumbuhan ekonomi, dan katakan ‘ya’ pada Tuhan. Ini akan memaksa penguasa dunia melakukan perubahan. Kaum elit penguasa, baik itu penguasa finansial, pemerintah, maupun kaum industrialis mau atau tidak mau akan beradaptasi dengan perubahan ini jika masih ingin memiliki tempat dalam peradaban. Sejarah sudah pernah membuktikan keberhasilan kekuatan rakyat seperti ini.



Kamis, 30 Oktober 2014

Revolusi Mental 10: Hilangnya Kemanusiaan

Krisis kemanusiaan terjadi ketika manusia secara kolektif telah kehilangan sebagian atau seluruh nilai-nilai kemanusiaannya sehingga tidak mengetahui lagi batas-batas antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang berharga dan tidak berharga. Tapi masalahnya, saat ini berlaku pandangan umum bahwa nilai-nilai kemanusiaan bersifat subyektif dan relatif, apa yang menurut sekelompok orang merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang penting bisa jadi tidak berarti apa-apa bagi kelompok lain. Agama yang berbeda-beda di dunia ini pada akhirnya juga mempengaruhi relatifnya nilai kemanusiaan.

Karena batasan-batasan yang subyektif ini maka krisis kemanusiaan memang sulit diukur secara kuantitatif. Ironisnya, pandangan yang mengatakan nilai kemanusiaan bersifat relatif dan subyektif sebenarnya justru menunjukkan adanya krisis kemanusiaan karena itu sama artinya dengan ini: manusia sudah tidak tahu lagi nilai-nilai kemanusiaan yang benar. Manusia seharusnya memiliki satu nilai kemanusiaan yang universal dan absolut. Hanya saja saat ini harus dengan rendah hati diakui bahwa manusia belum mencapai kesadaran itu. Perlu proses yang tidak sederhana dan panjang untuk sampai pada kesadaran itu. Tapi setidaknya ada suatu nilai bersama yang bisa diterima sebagai nilai kemanusiaan universal untuk saat ini, yaitu bahwa hidup manusia berharga karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling berharga. Ini standar minimal yang bisa diterima secara umum. Oleh karenanya setiap tindakan yang merugikan, membahayakan atau merendahkan hidup manusia harus disepakati semua agama sebagai tindakan yang tidak manusiawi.

Krisis kemanusiaan menjadi sangat berbahaya karena manusia bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif yang merugikan dan membahayakan banyak orang dengan penuh kesadaran dan tanpa rasa bersalah. Manusia sudah tidak menghargai dan tidak lagi peduli pada hidup manusia lainnya. Bom bunuh diri, pembantaian masal, genosida, pembantaian rakyat sipil dalam peperangan, meledakkan bom atom, dan pembakaran hutan adalah contohnya. Dibandingkan semua krisis lainnya, krisis kemanusiaan adalah krisis yang paling mengancam peradaban manusia. Tidak berlebihan jika saya mengatakan krisis kemanusiaan adalah inti sesungguhnya dari krisis peradaban.

Sejak revolusi industri, demi pertumbuhan ekonomi dan bergeraknya mesin-mesin industri manusia memang terus dijejali dengan semangat materialisme dan konsumerisme. Semangat ini tentu saja tidak sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang berasal dari agama. Manusia tidak bisa memiliki dua tuan, oleh karenanya demi pertumbuhan ekonomi manusia secara sistematis juga dijauhkan dari Tuhan dan nilai-nilai agama.

Cara-cara sistematis itu antara lain dengan menempatkan sains dan teknologi lebih penting dari agama. Lalu menyibukkan manusia dengan berbagai kesenangan dan keinginan duniawi seperti mengembangkan industri hiburan secara berlebihan. Misalnya saja, berkembang pesatnya hiburan audio dan visual di berbagai media (termasuk internet) yang terus mengeksploitasi naluri-naluri dasar manusia ataupun berbagai kegiatan pertandingan olah raga yang terus membuat orang rela menghabiskan waktu berharga yang seharusnya disediakan bagi Tuhan. Tidak perlu heran jika industri pornografi menjadi industri yang terbesar di internet dan banyak orang di Eropa dan Amerika Latin yang dengan bangga menjadikan sepakbola menjadi agama baru mereka. Sementara itu dunia akademis juga dibuat semakin sekuler dengan berbagai alasan ilmiah yang semu.

Jika kita cukup kritis, masih ada banyak contoh-contoh upaya sistematis yang dilakukan untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Tapi cukuplah kita tahu bahwa upaya sistematis itu memang ada demi satu tujuan utama: mendukung kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini sebuah kesalahan fatal yang harus dibayar sangat mahal. Hanya dari Tuhan saja manusia bisa menemukan nilai manusiawinya yang sejati, ketika manusia dijauhkan dari Tuhan maka kemanusiaannyapun ikut hilang.

Bisakah anda membayangkan apa yang terjadi jika anda berada di tengah hutan belantara dan tiba-tiba kehilangan GPS, peta dan kompas? Itulah yang terjadi ketika manusia tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai pedoman kebenaran dan sumber nilai-nilai kemanusiaan. Manusia kehilangan arah dan akan berjalan menurut naluri serta logikanya yang serba terbatas, yang hanya akan membuatnya semakin tersesat ke dalam hutan.

Sayangnya proses hilangnya nilai kemanusiaan ini seperti kanker ganas yang menyerang diam-diam dari dalam tubuh. Kehadirannya baru diketahui setelah parah dan merusak banyak organ tubuh. Demikian juga kemanusiaan yang hilang ini baru mulai disadari sebagai masalah ketika membuahkan banyak krisis yang mengancam peradaban manusia.



Kultur Kematian Dan Peradaban Tanpa Harapan

Ketika Tuhan sudah tidak lagi menjadi bagian terpenting kehidupan maka manusia kehilangan tiga hal ini: jalan, kebenaran, dan hidup. Tiga hal penting itulah yang akhirnya membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan menjadi penyebab berbagai krisis yang menghancurkan peradaban.
Dalam konteks membangun peradaban masa depan, kehilangan jalan berarti tidak tahu alternatif apa yang harus dipilih untuk membangun peradaban. Manusia tersesat dan apapun yang dilakukannya hanya akan membuahkan krisis yang makin dalam. Kehilangan kebenaran berarti juga kehilangan nilai-nilai kehidupan dan visi peradaban: manusia tidak tahu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga manusia tidak tahu peradaban seperti apa yang harus dibangun di masa depan. Visi peradaban yang dimiliki manusia hanyalah visi-visi pragmatis yang berbeda-beda dari berbagai kelompok yang sudah kehilangan kemanusiaannya. Kalaupun manusia berhasil menyepakati sebuah visi peradaban global bersama, tidak ada jaminan visi peradaban duniawi yang dibangun tanpa menyertakan Tuhan adalah peradaban yang ideal dan berlangsung lama. Kesombongan dan keangkuhan manusia yang merasa mampu membangun masa depan tanpa Tuhan menjadi jaminan bahwa visi peradaban semacam itu akan gagal. Sejarah sudah berkali-kali membuktikan ini dan manusia seharusnya belajar untuk tidak mengulangi lagi. Sementara itu kehilangan hidup berarti juga kehilangan sumber kekuatan surgawi yang membuat manusia dapat menjalani hidup secara manusiawi dan mampu menempuh jalan menuju peradaban masa depan yang ideal.

Kalau manusia sudah kehilangan jalan, kebenaran, dan hidup, lalu peradaban seperti apa yang akan dibangun? Manusia yang sudah kehilangan kemanusiaannya hanya akan membangun kultur kematian dan merancang kehancurannya sendiri. Inilah yang terjadi pada peradaban manusia saat ini.
Dengan kultur kematian, sangat ironis, manusia mulai melihat kehidupan sebagai bencana. Contohnya, ketika berhadapan dengan berbagai krisis maka yang dilihat sebagai masalah serius adalah pertumbuhan populasi (kehidupan), bukan pertumbuhan ekonomi. Dan sebaliknya, manusia mulai melihat kematian sebagai solusi. Contohnya, Cina dengan kebijakan satu keluarga satu anak, aborsi (kematian) jadi pilihan yang dipaksakan kepada pasangan yang memiliki anak lebih dari satu. Bahkan sekarang di banyak negara aborsi dilegalkan dengan syarat-syarat tertentu. Di Indonesia yang mengaku negara ber-Tuhan misalnya, pada tahun 2014 telah diterbitkan sebuah peraturan presiden yang melegalkan aborsi bagi kehamilan di bawah usia 40 hari dengan alasan-alasan tertentu seperti korban perkosaan atau adanya kemungkinan cacat berdasarkan indikasi medis.

Ini semua merupakan tanda-tanda jelas kuatnya kultur kematian di dalam peradaban manusia sekarang ini, sebuah kultur kehidupan tanpa Tuhan yang sudah kehilangan harapan. Jika kehidupan sudah dipandang sebagai bencana dan sebaliknya kematian dianggap sebagai solusi maka masih mungkinkah bisa dihasilkan sesuatu yang baik dari kultur kematian semacam ini? Pohon yang buruk hanya akan menghasilkan buah yang buruk. Demikian juga kultur kematian hanya akan menghasilkan kehancuran peradaban.

Tapi harapan untuk membangun peradaban masa depan manusia masih terbuka kalau saja manusia mau menghentikan kultur kematian ini dan dengan rendah hati mau kembali berpaling pada Tuhan untuk memulihkan kemanusiaannya. Tidak ada jalan lain.



Revolusi Mental 9: Pertumbuhan Ekonomi, Akar Segala Kejahatan

Sebenarnya disinilah letak akar permasalahan semua krisis yang mendera manusia sekarang ini: sejak revolusi industri semangat pertumbuhan ekonomi membuat manusia mulai kehilangan kemanusiaannya. Semangat materialisme ternyata tidak sejalan dengan hidup yang berpusat pada Tuhan padahal semangat materialisme ini mutlak dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Materialisme adalah jiwa dari pertumbuhan ekonomi. Sementara itu manusia tidak mungkin mengabdi pada dua tuan, yang satu harus disingkirkan demi yang lain. Maka secara sistematis peran Tuhan harus disingkirkan dari kehidupan manusia demi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian manusia mulai diarahkan untuk mengabdi pada dewa yang baru sebagai pengganti Tuhan Sang Pencipta: uang.

Bagi para pendukung pertumbuhan ekonomi, sains dan teknologi bisa dijadikan ‘jalan hidup’ alternatif untuk menggantikan agama. Sains dan teknologi yang maju pesat akibat dipicu oleh semangat pertumbuhan ekonomi membuat manusia lebih percaya kepada sains dan teknologi dari pada kepada Tuhan. Manusia mulai meminggirkan peran agama dari ruang publik. Secara sistematis ruang gerak agama makin dibatasi dan perannya terus dikecilkan.

Akibatnya hidup manusia dijauhkan dari nilai-nilai spiritual dan semakin dipenuhi oleh semangat materialisme serta konsumerisme. Sport dan hiburan yang tidak sehat juga dipromosikan secara berlebihan untuk membuat manusia melupakan harta rohani yang dibutuhkannya. Ini mengubah drastis cara pandang manusia terhadap alam, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan. Atau dengan kata lain, hilangnya nilai-nilai spiritual membuat manusia juga kehilangan kemanusiaannya yang utuh. Sebuah kesalahan fatal yang baru dirasakan akibatnya setelah terakumulasi selama dua abad lebih. Tidak perlu heran jika sekarang alam tidak lagi bersahabat dengan manusia.



Dengan demikian sumber semua krisis yang terjadi saat ini adalah sikap manusia sendiri yang menempatkan pencapaian material sebagai nilai hidup yang lebih penting dari nilai-nilai yang lain. Kondisi ini berlangsung cukup lama dan kolektif sehingga mewarnai norma peradaban.
Jadi sangat benarlah perkataan ini: cinta akan uang adalah akar dari semua kejahatan. Manusia harus menyadari bahwa cinta akan uang yang termanifestasi dalam fanatisme terhadap pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan menjadi sumber dari berbagai krisis lain yang mendera peradaban manusia. Hilangnya kemanusiaan ini juga yang kemudian menjadi penyebab langsung dari krisis kemanusiaan yang begitu menonjol akhir-akhir ini.

Banyaknya krisis yang terjadi, termasuk krisis kemanusiaan, seharusnya memberi pelajaran berharga bagi manusia bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya sudah gagal. Obsesi manusia terhadap pertumbuhan ekonomi telah menjadi penyebab utama timbulnya berbagai krisis. Tragedi 9/11 sesungguhnya adalah sebuah pertanda bagi manusia bahwa pertumbuhan ekonomi (disimbolkan oleh gedung WTC) akan dihancurkan oleh masalah yang dibuatnya sendiri (disimbolkan oleh tindakan teroris yang tidak manusiawi). Manusia harus mengubur ide-ide pertumbuhan ekonomi selamanya jika ingin terbebas dari krisis peradaban.

Ini bukan soal ideologi sebab baik kapitalisme maupun komunisme tetap berdasarkan pada semangat materialisme yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Bedanya, kapitalisme mengandalkan pasar bebas sementara komunisme mengandalkan sistem distribusi kesejahteraan yang dikendalikan pemerintahan otoriter. Dua-duanya juga sudah terbukti gagal total. Runtuhnya Uni Soviet adalah bukti kegagalan komunisme, sementara krisis finansial yang sudah terjadi dan masih akan terjadi adalah bukti kegagalan kapitalisme.

Banyak orang berharap bahwa sistem hibrida yang memadukan ide-ide komunis dan kapitalis seperti yang dipraktekkan Cina bisa menjadi alternatif. Pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastis di tengah kelesuan ekonomi negara-negara industri lain dianggap sebagai buktinya. Tapi selama pertumbuhan ekonomi tetap menjadi semangatnya maka sistem ideologi apapun tidak akan berhasil.

Selasa, 28 Oktober 2014

Revolusi Mental 8: Revolusi Industri, Pemicu Pertumbuhan Eksponensial

Dengan melihat sejarah kita bisa mengetahui bahwa faktor populasi dan pertumbuhan ekonomi mulai mendapat peran dominan sejak revolusi industri. Faktor pertumbuhan ekonomi dan populasi mendapatkan momentum untuk bertumbuh secara eksponensial sejak munculnya semangat revolusi industri. Memahami mengapa fenomena ini bisa terjadi akan menjadi faktor kunci yang membantu kita mengerti akar masalah.

Pada tahun 1765 James Watt berhasil memperbaiki cara kerja mesin uap ciptaan Samuel Newcomen sehingga membuat mesin tersebut lebih efisien dan dapat diaplikasikan untuk banyak kegunaan. Ini menandai dimulainya penggunaan mesin dan energi fosil dalam bidang industri yang akan mengubah wajah dunia. Penggunaan mesin dan energi fosil membuat produktivitas manusia meningkat sangat pesat sehingga ikut mengubah cara hidup manusia secara radikal. Ini kemudian dikenal dengan sebutan revolusi industri.

Pemilik modal mulai memanfaatkan industri untuk memproduksi barang-barang demi meraih keuntungan. Mereka memproduksi barang jauh melebihi yang sebenarnya dibutuhkan manusia. Barang-barang ini harus diserap oleh pasar supaya industri terus berjalan, maka semangat materialisme dan konsumerisme juga ikut dikembangkan untuk menunjang dunia industri. Dengan cara ini manusia mudah dibujuk untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Etika yang digunakan dalam revolusi industri sangat pragmatis: demi keuntungan (pertambahan kapital), tidak menjadi penting barang apa yang diproduksi selama itu semua bisa diserap oleh pasar, bagaimanapun caranya. Akibatnya pertumbuhan ekonomi, bukan kebutuhan manusia, menjadi jiwa dan kekuatan utama yang menggerakkan revolusi industri.

Revolusi industri juga mendorong sains dan teknologi untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang membuat dunia industri semakin memiliki kekuatan dalam menghasilkan banyak barang dan hidup manusia menjadi tampak lebih mudah. Dalam dunia transportasi, mobil membuat manusia bergerak lebih cepat. Kemajuan teknologi telekomunikasi membuat manusia mampu berhubungan dengan siapapun tanpa hambatan jarak. Dalam dunia kesehatan, banyak penyakit berbahaya yang bisa diatasi dan harapan hidup manusia makin meningkat sehingga memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan populasi. Karena sains dan teknologi mampu memberikan hasil yang nyata maka manusia mulai menempatkan sains dan teknologi lebih tinggi dari agama.

Pada awal perkembangannya, dampak industri terhadap lingkungan tidak begitu dirasakan dan sumber daya alam juga masih sangat berlimpah. Dengan demikian manusia belum melihat dampak buruk dari pertumbuhan industri. Sangat bisa dipahami jika dalam kondisi seperti ini industri dan semangat pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai sebuah anugerah bagi manusia. Akibatnya nilai-nilai yang menunjang pertumbuhan ekonomi seperti materialisme dan konsumerisme, serta pendewaan terhadap sains dan teknologi terus berkembang dan menjadi bagian dari pandangan dunia modern.


Semangat mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa batas membuat industri terus memproduksi barang-barang. Akibatnya manusia terus mengeksplorasi alam secara berlebihan dan merusak ekosistem. Sementara itu harga energi fosil yang murah mendorong industri untuk menciptakan dan memproduksi alat transportasi berbahan bakar energi fosil dan perlengkapan rumah tangga yang menggunakan listrik. Ini semua berkontribusi besar pada peningkatan konsumsi energi dan polusi.

Media yang dibiayai industri (paling tidak dari iklan) juga terus mempromosikan semangat konsumerisme. Demikian juga bank-bank yang membiayai industri ikut berkepentingan untuk terus memberikan kredit konsumsi. Ini semua agar barang-barang hasil industri terserap oleh pasar dan semua pelaku ekonomi dapat bagian keuntungan. Sekarang, ini semua menimbulkan masalah lingkungan yang berdampak luas dan merusak, bahkan ikut berperan penting yang memunculkan banyak krisis lainnya. Tapi manusia dengan semangat materialisme yang dominan sudah terlanjur bergantung pada barang-barang hasil industri dan seolah tidak bisa hidup tanpa itu. Akibatnya alternatif  lain dari pertumbuhan ekonomi sepertinya mustahil.

Revolusi Mental 7: Pertumbuhan Eksponensial Sebagai Masalah Utama Penyebab Krisis

Jika merenungkan semua krisis yang terjadi seharusnya kita bertanya, bagaimana mungkin krisis sebanyak ini hadir dalam satu masa secara bersamaan? Secara intuitif besar kemungkinannya krisis-krisis ini bukanlah krisis-krisis yang terpisah dan berdiri sendiri tapi merupakan bagian dari satu krisis besar dengan satu akar permasalahan yang sama.

Untuk itu kita perlu melihat keterkaitan antara krisis-krisis yang terjadi, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan mencoba melihat hubungan sebab-akibatnya. Dari hubungan sebab akibat ini kita bisa melihat akar permasalahan dari seluruh krisis yang terjadi. Dengan mengetahui akar permasalahan yang ada kita akan bisa melihat semua krisis dalam perspektif yang baru dan menemukan solusi yang terbaik untuk mengatasinya.

Untuk menyederhanakan masalah saya akan menggunakan bantuan model dinamika sistem yang digunakan dalam buku ‘Limits To Growth’ dimana faktor-faktor yang diperhitungkan adalah: populasi manusia, hasil industri/ekonomi,  produksi pangan, sumber daya alam, dan polusi.

Dari model dinamika sistem ini kita akan melihat korelasi antara berbagai krisis yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kita akan menganalisis empat krisis dominan yang dipengaruhi oleh batas-batas pertumbuhan planet bumi:

Krisis energi
Pada tahun 1980 harga minyak bumi berada di angka $20 per barrel, tapi sekarang harganya sudah mencapai $100 atau naik 400%. Ini sudah cukup menggambarkan adanya krisis akibat makin tingginya permintaan dan makin terbatasnya penawaran. Keterbatasan penawaran disebabkan oleh makin menurunnya produksi ladang minyak di berbagai negara dan penemuan sumber-sumber minyak baru sangat terbatas. Sementara itu naiknya permintaan disebabkan dua hal: meningkatnya populasi manusia dan meningkatnya aktivitas ekonomi / industri.

Krisis pangan
Krisis pangan juga ditandai oleh terbatasnya ketersediaan pangan dan tingginya permintaan. Faktor yang mempengaruhi tingginya permintaan tentu saja jumlah populasi manusia yang terus meningkat. Sementara itu keterbatasan persediaan pangan disebabkan banyak hal. Antara lain karena produktivitas yang makin menurun, baik karena menurunnya kualitas tanah ataupun karena kerusakan lingkungan.

Produksi pangan juga banyak terganggu oleh kondisi cuaca ekstrim akibat pemanasan global / perubahan iklim. Australia sebagai produsen komoditi pangan dunia mengalami penurunan produksi hingga 50% akibat gangguan cuaca. Banyak negara produsen yang mengurangi atau bahkan menghentikan ekspor pangan demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi ini makin diperparah lagi dengan banyaknya lahan pertanian yang digunakan untuk produksi bio-fuel guna memenuhi kebutuhan energi.

Krisis Lingkungan
Perubahan iklim atau pemanasan global menandai krisis lingkungan. Ada banyak yang mempengaruhi perubahan iklim, yang paling signifikan adalah polusi dan kerusakan alam akibat meningkatnya aktivitas industri dan tingkat konsumsi sehingga merusak keseimbangan ekosistem.

Krisis ekonomi
Suka atau tidak suka akhirnya harus diakui bahwa sistem ekonomi dunia yang mengasumsikan pertumbuhan ekonomi tanpa batas di planet bumi yang terbatas sudah tidak relevan lagi. Aktivitas ekonomi tidak bisa dilepaskan dari eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Jadi aktivitas ekonomi seharusnya juga memiliki batas-batas untuk bisa membuatnya berkelanjutan. Aktivitas ekonomi tidak bisa dipacu terus-menerus tanpa menimbulkan efek samping yang merusak. Krisis yang berkali-kali terjadi dan masih akan terjadi dalam skala yang lebih besar adalah sebuah indikasi yang tidak bisa dibantah bahwa sistem ekonomi seperti ini memiliki kesalahan yang mendasar dan tidak bisa dilanjutkan. Ini fakta tidak menyenangkan yang harus diterima semua orang.


Dari keempat krisis di atas meningkatnya populasi manusia punya andil dalam tiga krisis ini: krisis energi, krisis pangan, dan krisis lingkungan. Pengaruh populasi pada krisis ekonomi adalah tidak langsung, melalui berbagai krisis, terutama krisis energi. Sementara pertumbuhan ekonomi punya pengaruh langsung pada tiga krisis: krisis ekonomi, krisis  lingkungan, dan krisis energi. Pada krisis pangan pengaruhnya tidak langsung, yaitu melalui perubahan iklim. Jadi bisa dikatakan dua faktor ini: pertumbuhan populasi dan pertumbuhan ekonomi, adalah dua faktor paling penting yang mempengaruhi berbagai krisis yang terjadi.

Ada satu krisis yang penting dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari krisis peradaban, yaitu krisis kemanusiaan. Krisis ini tidak saya sebut di atas karena memang tidak berhubungan langsung dengan batas-batas pertumbuhan. Tapi nanti akan jelas bahwa krisis penting ini juga berkaitan dengan akar ke-empat krisis di atas. Krisis kemanusiaan ini meski menyangkut soal manusia ternyata tidak banyak hubungannya dengan masalah pertumbuhan populasi, tapi sangat berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi.

Senin, 27 Oktober 2014

Revolusi Mental 6: Permasalahan Solusi Parsial

Abraham Maslow pernah mengatakan, “Jika anda hanya punya sebuah palu, anda akan cenderung melihat semua masalah sebagai paku”. Itu kecenderungan manusia yang sekarang juga terlihat ketika menghadapi berbagai krisis: melihat masalah dari sudut pandang yang sempit dan terspesialisasi.
Ketika terjadi krisis energi, upaya penyelesaian hanya terfokus untuk mengatasi masalah kelangkaan energi, misalnya dengan mencari ladang minyak baru, melakukan konversi penggunaan energi, mengembangkan energi-energi terbarukan, dan melakukan upaya efisiensi. Juga ketika terjadi krisis lingkungan, orang berupaya mulai melakukan konservasi alam, mengurangi polusi, melakukan pengolahan limbah, mengendalikan emisi gas buang, menggunakan bahan-bahan daur ulang untuk keperluan sehari-hari, melakukan gerakan penghijauan, menyelamatkan satwa langka, dan banyak lagi. Tindakan itu semua tentu saja bagus dan berguna, tapi tidak cukup.

Akibatnya, sebagian besar upaya penyelesaian krisis hanya bersifat parsial dan sementara. Belum tampak upaya penyelesaian yang komprehensif dengan melihat seluruh krisis yang ada sebagai satu krisis besar peradaban manusia. Manusia perlu cara pandang yang baru untuk mendapatkan gambaran persoalan yang lebih luas. Apa yang dilakukan manusia dengan penyelesaian parsial seperti mengobati kanker dengan salep dan perban, bukan mengangkat kanker yang menjadi sumber masalah.

Ada bahaya besar jika kita melakukan pendekatan parsial seperti itu. Apalagi jika masalah tersebut dibesar-besarkan oleh media secara tidak berimbang. Kondisi ini bisa membuat banyak orang terus terjebak pada cara pandang keliru karena hanya terfokus pada masalah yang tampak dipermukaan. Ini bisa mengalihkan manusia dari akar permasalahan yang sebenarnya, yang seharusnya menjadi fokus perhatian.

Akibatnya, banyak orang yang punya niat baik merasa puas telah ikut berpartisipasi menyelesaikan masalah dunia meski pada saat yang sama justru mengabaikan akar permasalahan. Orang sudah merasa ikut peduli dengan mengurangi konsumsi listrik di rumah atau kantor, menggunakan mobil berbahan bakar bio-fuel, menolak kantong plastik saat belanja di supermarket, dan hal-hal lain yang semacam itu tanpa pernah menyadari bahwa akar masalahnya belum tersentuh sama sekali. Tidak adanya fokus penyelesaian yang benar membuat banyak upaya penyelesaian yang didasari niat baik untuk peduli tidak memiliki arah penyelesaian yang jelas dan hanya menjadi penyelesaian dangkal yang bersifat sementara. Dalam beberapa kasus, berbagai upaya penyelesaian krisis justru memperdalam krisis yang ada atau menambah krisis baru.



Misalnya saja, dalam upaya mengatasi masalah populasi penduduk dunia yang terus meningkat. Ide pengendalian populasi muncul dari Thomas Malthus di Inggris pada tahun 1798. Ia mengkhawatirkan populasi penduduk yang terus meningkat dan ketersediaan pangan yang terbatas. Pemikiran Thomas Malthus menginspirasi Margaret Sanger yang pada tahun 1921 mendirikan American Birth Control League dan mempelopori gerakan keluarga berencana.

Pada tahun 1968 Paul Ehrlich menulis sebuah buku  berjudul “The Population Bomb” yang mengisyaratkan terjadinya ledakan populasi manusia jika tidak ada upaya pengendalian jumlah penduduk. Pada saat yang hampir sama PBB mendirikan organisasi untuk menangani masalah populasi (UNFPA, UN Fund for Population Activities) yang mendorong gerakan keluarga berencana di berbagai negara.

Memang benar dalam dunia yang punya keterbatasan, pertumbuhan populasi penduduk tanpa upaya pengendalian bisa menimbulkan masalah. Tapi melihat solusi masalah populasi hanya dari sudut pandang pengendalian tingkat kelahiran bisa menimbulkan masalah baru. Misalnya saja kampanye masif penggunaan kontrasepsi yang justru mengakibatkan meningkatnya aktivitas seksual ekstra-marital. Lalu banyak negara yang mulai melegalkan aborsi dengan syarat-syarat tertentu. Bahkan pada tingkat yang ekstrim pemerintah Cina mencanangkan gerakan satu keluarga satu anak. Jika ada wanita yang hamil anak kedua atau hamil di luar nikah, pemerintah komunis Cina akan memaksakan aborsi tidak peduli berapapun usia kehamilannya. Akhir-akhir ini juga banyak negara yang mulai melegalkan pernikahan sesama jenis sebagai alternatif gaya hidup yang tidak menghasilkan keturunan atau pertambahan penduduk. Tentu saja alasan yang digunakan bukan masalah pengendalian populasi tapi soal kebebasan dan hak asasi. Semua upaya-upaya di atas mungkin bisa membantu pengendalian tingkat kelahiran untuk sementara waktu, akan tetapi jelas menimbulkan masalah moral yang serius dan akan ada konsekuensinya. Cara-cara tersebut tidak akan pernah dilakukan kalau saja manusia tahu akar permasalahan yang sesungguhnya!

Revolusi Mental 5: Tiga Pesan Penting

Semenjak kemunculannya, LTG menuai banyak kritik sekaligus pujian. Tidak diragukan lagi, inilah buku mengenai lingkungan yang paling kontroversial yang pernah ada. Sebagian kritik menyatakan LTG hanya menebarkan pesan malapetaka dan kesuraman masa depan manusia dengan berdasarkan analisis yang terlalu disederhanakan. Sebagian lagi mengatakan bahwa LTG tidak memperhitungkan kemampuan manusia dalam beradaptasi. Lebih jauh lagi, berbagai penemuan sumber-sumber energi fosil dan mineral serta teknik-teknik baru eksplotasi tambang (seperti misalnya penerapan teknologi fracking pada beberapa tambang minyak yang mulai menurun produktivitasnya), yang dapat meningkatkan tingkat cadangan energi fosil dijadikan alasan untuk mendiskreditkan LTG.

Tapi terlepas dari segala kritik yang muncul, berbagai krisis yang terjadi seperti krisis pangan, krisis energi, krisis lingkungan, dan bahkan krisis ekonomi mau tidak mau menyadarkan banyak orang bahwa apa yang ditulis dalam LTG mengandung kebenaran. Sejak buku LTG diterbitkan tidak banyak perubahan berarti dan dunia terus bergerak mengikuti skenario overshoot.  Setelah 40 tahun penerbitan LTG, Dennis Meadows mengatakan fakta yang lebih kelam:

“Pada awal 1970-an, adalah sangat mungkin untuk percaya bahwa kita bisa melakukan perubahan yang dibutuhkan. Tapi sekarang sudah terlambat. Kita memasuki sebuah perioda dimana terjadi beberapa dekade gangguan iklim yang tidak terkontrol dan penurunan kondisi yang sangat sulit”

Banyaknya kepentingan-kepentingan ekonomis sempit yang tidak menginginkan perubahan membuat pesan penting yang diserukan oleh LTG demi perbaikan masa depan manusia gagal membawa perubahan berarti.



Ada tiga konklusi penting yang ingin disampaikan oleh LTG:

Pertama, jika trend pertumbuhan yang pada waktu itu terjadi terus berlanjut maka peradaban manusia akan memasuki kondisi ‘overshoot’, yaitu melampaui batas pertumbuhan yang sanggup diakomodasi oleh planet bumi yang terbatas. Kondisi ini bisa mengakibatkan penurunan drastis kapasitas industri dan populasi manusia. Atau dengan kata lain: bencana peradaban. Berbagai krisis yang terjadi sebenarnya merupakan tanda-tanda bahwa manusia tengah masuk ke dalam kondisi overshoot. Perubahan harus segera diambil jika manusia tidak ingin kondisi ini berujung pada terjadinya bencana peradaban.

Kedua, manusia bisa mengubah trend pertumbuhan faktor-faktor tersebut sehingga terjadi kestabilan ekologis dan peradaban yang berkelanjutan (sustainable). Upaya pengendalian populasi memang sudah dilakukan, demikian juga upaya penanganan polusi meski belum mencapai hasil yang diharapkan. Satu faktor pertumbuhan eksponensial penting yang sampai saat belum tersentuh upaya perbaikan adalah pertumbuhan ekonomi. Sampai hari ini semua negara masih terjebak pada paradigma pertumbuhan ekonomi tanpa batas dan belum ada alternatif model ekonomi yang lain. Ini bertambah buruk dengan sistem demokrasi yang menuntut para politisi terus terjebak untuk menjanjikan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan rakyat agar bisa terpilih.

Jika menginginkan masa depan peradaban yang berkelanjutan manusia harus berani mengambil keputusan untuk mengubah paradigma pertumbuhan ekonomi ini. Manusia harus mulai memikirkan sistem ekonomi keadaan tunak (steady-state economy) sebagai alternatif sistem ekonomi di masa depan. Herman Daly, seorang ekonom Bank Dunia yang juga tokoh pendukung ekonomi keadaan tunak, berkomentar bahwa pada suatu hari ia akan menerima ide pertumbuhan ekonomi tanpa batas apabila koleganya bisa memberikan bukti bahwa planet bumi juga dapat bertumbuh dalam tingkat yang sepadan.

Ketiga, jika manusia memilih kondisi yang kedua maka semakin cepat perubahan dilakukan akan semakin besar kemungkinan keberhasilannya. Siapapun tidak ada yang menginginkan kondisi yang pertama. Masa depan yang berkelanjutan adalah harapan dan keinginan semua orang. Tapi 40 tahun telah berlalu sejak LTG diterbitkan memberi kita pelajaran bahwa perubahan sulit dilakukan karena banyaknya konflik kepentingan yang membuat diskusi dan debat berkepanjangan tanpa hasil berarti. Penundaan ini tidak bisa berlangsung lama karena hanya akan membuat krisis semakin kompleks dan upaya perbaikan akan semakin sulit. Tidak mungkin menunggu 40 tahun lagi, oleh karenanya manusia tidak bisa mengandalkan upaya perubahan dari kelompok elit penguasa dan kaum intelektual yang masih terus berdebat. Perubahan juga bisa dihasilkan dari gerakan populis atau akar rumput, yaitu suatu gerakan yang berasal dari kesadaran banyak orang untuk memulai perubahan demi masa depan yang lebih baik.

Dengan memahami ketiga konklusi yang disampaikan LTG setidaknya orang perlu melihat buku ini secara proporsional. LTG tidak hanya bicara tentang masa depan yang penuh bencana dan suram, tapi juga tentang adanya harapan untuk hadirnya peradaban yang berkelanjutan jika manusia mau melakukan perubahan.

Meskipun planet bumi memiliki batas-batas pertumbuhan namun manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan membangun peradaban yang berkelanjutan di dalam batas-batas tersebut. Kesempatan untuk membangun peradaban yang berkelanjutan ini yang seharusnya jadi perhatian semua orang. Sekarang maukah kita melakukan perubahan demi masa depan yang lebih baik, atau sebaliknya kita memilih untuk tetap menjalani kehidupan yang sudah biasa kita jalani sekarang meski itu mengarah pada kehancuran?

Minggu, 26 Oktober 2014

Revolusi Mental 4: Kisah Bakteri Dalam Botol

Ada sebuah cerita sederhana yang sering digunakan untuk memahami masalah pertumbuhan eksponensial dalam kondisi terbatas ini:

Sebuah botol percobaan di laboratorium diisi satu bakteri yang mampu membelah diri setiap satu menit dan makanan yang cukup untuk satu koloni bakteri. Bakteri tersebut akan memenuhi seluruh botol dan kehabisan seluruh cadangan makanan dalam waktu 1 jam. Pada menit ke 55 koloni bakteri baru menempati sekitar 3% botol. Ada bakteri yang mulai khawatir, "Hei kawan, kita punya masalah populasi..!" Tapi dia ditertawakan teman-temannya, "Lihat... botol masih luas, kita baru menempati 3% dan masih ada 97% lagi untuk kita tempati..." Pada menit ke 56, bakteri menempati 6.25% botol. Menit ke 57, menempati 12.5% botol. Akhirnya pada menit ke 59 bakteri menempati setengah wilayah botol dan mulai khawatir. Mereka mengumpulkan bakteri-bakteri yang menguasai sains dan teknologi untuk mencari jalan keluar. Tepat pada menit ke 60 mereka menemukan solusi berupa 3 buah botol yang baru lengkap dengan makanannya. Pada menit ke 61, botol keduapun terisi penuh. Dan pada menit ke 62, seluruh keempat botol yang ada penuh oleh koloni bakteri.



Botol dan makanan adalah planet bumi beserta sumber daya alamnya yang terbatas, sementara bakteri adalah populasi manusia dan pertumbuhan ekonomi. Jelas bahwa upaya menambah persediaan sumber daya alam, bahkan mencari koloni baru bukanlah solusi untuk mengatasi masalah pertumbuhan eksponensial. Itu hanya memberi kita kesempatan bernafas sebentar saja sebelum peradaban manusia masuk ke dalam kondisi overshoot. Banyak ahli yang sepakat bahwa saat ini kita sedang melewati menit ke 59!

Untuk pertumbuhan populasi, sudah ada upaya untuk mengendalikannya. Sekarang tingkat pertumbuhan penduduk dunia sudah mulai berkurang, bahkan di beberapa negara industri tingkat pertumbuhannya negatif. Tapi pertumbuhan ekonomi sampai saat ini belum ada upaya untuk mengendalikannya. Sebaliknya para ekonom dan politisi masih saja berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi harus terus berlanjut dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, meski berbagai krisis seharusnya menyadarkan mereka bahwa ada yang salah dari konsep pertumbuhan ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya hanya meningkatkan kesenjangan antara kaya dan miskin.

Revolusi Mental 3: Keterbatasan Planet Bumi Dan Pertumbuhan Eksponensial

Dalam dinamika sistem planet bumi, diharapkan kondisi populasi manusia, produksi pangan, hasil industri, penggunaan sumber daya alam, dan polusi berada dalam kondisi berkelanjutan (sustainable), yaitu stabil dalam jangka waktu yang sangat lama. Tapi dari data-data yang dikumpulkan oleh LTG sampai dengan tahun 1972 ada kecenderungan peradaban dunia masuk ke dalam kondisi overshoot.  Kondisi ini terjadi ketika suatu faktor yang bertumbuh secara eksponensial bergerak dengan cepat melewati keterbatasan yang ada dalam sistem dan terlambat diantisipasi. Keadaan ini bisa mengakibatkan sistem mengalami kolaps.

Ada dua faktor penting yang memiliki karakteristik alami untuk bertumbuh secara eksponensial:

1. Pertumbuhan Populasi penduduk.

Secara alamiah untuk mempertahankan kelangsungan spesies, populasi penduduk memang punya kemampuan untuk memperbanyak diri. Jika tingkat kelahiran lebih tinggi dari tingkat kematian, maka yang terjadi adalah pertumbuhan populasi. Pada tahun 1650 jumlah penduduk dunia adalah sekitar 500 juta dengan tingkat pertambahan penduduk sekitar 0.3%. Tapi laju pertambahan penduduk meningkat pesat dan pada tahun 1965 jumlah populasi mencapai 3.3 milyar dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2% per tahun. Setelah tahun 1965 tingkat pertambahan penduduk dunia memang menurun tapi tetap di atas 1.5% per tahun. Saat ini penduduk dunia sudah mencapai lebih dari 7 milyar, meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 1965!

2. Pertumbuhan Ekonomi/industri.

Yang dimaksud pertumbuhan ekonomi disini tidak terbatas dalam arti finansial saja tapi juga dalam arti volume perputaran barang-barang material dan juga jasa. Pada awal revolusi industri, perpaduan antara mesin dan energi fossil membuat manusia mampu memproduksi barang-barang yang berlimpah dan melakukan berbagai pekerjaan dengan lebih produktif. Akibatnya penggunaan mesin-mesin di berbagai bidang terus bertambah dan kebutuhan-kebutuhan baru juga terus diciptakan untuk menyerap hasil produksi mesin-mesin. Karena pada awal revolusi industri sumber daya alam masih sangat berlimpah dan polusi belum menjadi masalah maka pertumbuhan ekonomi dalam bentuk pertumbuhan industri barang dan jasa dianggap menjadi solusi terbaik untuk mencapai kesejahteraan manusia. Pertumbuhan ekonomi akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peradaban manusia sampai hari ini.

Faktor lain seperti produksi pangan dan polusi juga bertumbuh secara eksponensial, tapi bukan karena faktor itu sendiri melainkan karena dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi dan pertumbuhan ekonomi/industri.



Sementara itu keterbatasan yang ada di planet bumi antara lain:

1. Keterbatasan sumber energi fosil seperti minyak bumi, gas dan batu bara.

Energi fosil merupakan cadangan energi hidrokarbon yang terbentuk jutaan tahun yang lalu. Tapi penggunaannya yang terus meningkat pesat sejak revolusi industri membuat sebagian besar cadangannya terkuras hanya dalam beberapa dekade saja. Cadangan minyak di dunia makin menipis sebagaimana terlihat dari menurunnya kapasitas produksi ladang minyak di berbagai negara. Minyak bumi tidak hanya digunakan untuk bahan bakar, tapi juga untuk bahan baku industri seperti pupuk, pestisida, plastik, dan banyak industri kimia lainnya.

2.  Keterbatasan sumber daya mineral.

Beberapa jenis mineral seperti besi dan alumunium memang tersedia dalam jumlah yang sangat berlimpah, tapi jenis mineral lain seperti timbal, timah, perak, dan seng jumlahnya lebih terbatas. Ada bahaya kelangkaan jika terus menerus ditambang dalam tingkat seperti sekarang. Selain itu keterbatasan bukan cuma masalah jumlah cadangan yang tersedia di planet bumi akan tetapi juga masalah kemampuan manusia untuk menambangnya secara ekonomis.

3. Keterbatasan kemampuan produksi sumber daya alam terbarukan.

Sumber daya alam yang terbarukan ini antara lain lahan pertanian, hutan,  dan laut. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan bahan pangan memang dapat berproduksi terus-menerus asalkan diolah dalam batas-batas tertentu yang memperhatikan kemampuan tanah untuk mengembalikan tingkat kesuburannya. Akan tetapi jika dieksploitasi secara berlebihan untuk mengejar target produksi maka tingkat kesuburannya akan berkurang dan produktivitasnya akan terus menurun. Apalagi upaya peningkatan produksi biasanya menggunakan pupuk buatan dan pestisida yang penggunaannya dalam jangka waktu lama bisa merusak ekosistem.

Hutan bisa menghasilkan kayu secara berkesinambungan dan berperan menjaga keseimbangan ekosistem jika penebangan kayu dilakukan dengan memperhatikan batas-batas tertentu sambil memperhatikan proses regenerasi pohon-pohon di dalamnya. Demikian juga dengan hasil tangkapan ikan di laut. Sejauh upaya penangkapan ikan ini diatur dengan memperhatikan kesempatan ikan untuk melakukan proses regenerasi yang alami maka laut akan bisa menghasilkan ikan secara berkesinambungan. Sayang sekali target-target produksi membuat keduanya tidak mungkin mempertahankan keseimbangan alaminya.

4. Keterbatasan ekosistem untuk menyerap polusi dan limbah secara alamiah.

Ekosistem di planet bumi memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyerap polusi dan limbah secara alamiah. Seperti misalnya hasil emisi gas CO2 secara alamiah mampu diserap oleh hutan tropis untuk diubah menjadi O2. Demikian juga dengan limbah hasil industri atau rumah tangga dalam jumlah tertentu dengan mudah dapat terurai di alam, baik oleh berbagai mikroorganisme maupun proses oksidasi. Akan tetapi jika polusi dan limbah ini meningkat terus jumlahnya maka sebagian bisa tidak terolah secara alamiah dan mengakibatkan gangguan ekosistem serta kerusakan lingkungan. Keterbatasan ekosistem ini makin diperparah lagi oleh kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia seperti perusakan hutan untuk keperluan industri dan perkebunan monokultur.

Sayang sekali pada awal revolusi industri masalah keterbatasan ini tidak begitu disadari karena ruang untuk pertumbuhan eksponensial memang masih cukup luas. Akibatnya aktivitas industri dibiarkan terus meningkat tanpa mengindahkan keterbatasan planet bumi. Penggunaan mesin dan energi fosil di berbagai bidang membuat manusia mampu menghasilkan lebih banyak barang sehingga memacu aktivitas perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Revolusi industri memang membuat kaum pemilik modal punya kekuatan luar biasa untuk terus melipatgandakan kekayaan mereka sambil menawarkan sedikit peningkatan kesejahteraan pada orang banyak. Kondisi ini membuat pertumbuhan ekonomi menjadi nilai atau norma utama peradaban. Ini menyimpan bahaya besar yang cenderung lambat disadari, yaitu bahwa pertumbuhan eksponensial sesungguhnya tidak mungkin berlangsung terus dalam suatu sistem yang terbatas seperti planet bumi. Sebuah kekeliruan besar yang harus dibayar mahal oleh generasi berikutnya dalam bentuk krisis peradaban.

Revolusi Mental 2: Batas-Batas Pertumbuhan

Kontroversi Pemanasan Global

Pada tahun 2006 ex-wakil presiden Amerika Serikat Al Gore tampil dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘An Inconvenient Truth’ yang mengkampanyekan bahaya pemanasan global akibat efek rumah kaca sebagai konsekuensi dari meningkatnya kadar gas CO2 yang berasal dari aktivitas manusia. Selain mengakibatkan cuaca yang ekstrim, efek pemanasan global yang cukup menonjol adalah mencairnya es di kutub yang bisa mengakibatkan naiknya permukaan air laut sehingga membuat banyak pulau serta negara yang akan terhapus dari peta bumi. Sudah pasti ini membangkitkan ketakutan bagi banyak orang yang tinggal di dataran rendah dekat pantai atau negara-negara kepulauan di pasifik.

Film ini sendiri cukup berhasil menyentak kesadaran dunia akan bahaya pemanasan global dan berhasil menyabet piala Oscar pada tahun 2007. Pada tahun 2007 itu juga, Al Gore bersama IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian karena upaya mereka membangun kesadaran dunia, atau mungkin lebih tepat: ketakutan dunia, akan bahaya pemanasan global dan perubahan iklim.

Tapi sayang sekali isu pemanasan global dan perubahan iklim segera berubah menjadi kontroversi politik yang berkepanjangan hingga menghambat berbagai langkah solusi yang seharusnya dilakukan. Bahkan belakangan istilah pemanasan global mengundang banyak kritik dan tidak begitu populer lagi karena ada masa-masa tertentu dimana yang terjadi justru pendinginan. Akibatnya, istilah perubahan iklim lebih sering digunakan karena menonjolnya fenomena cuaca ekstrim di berbagai belahan dunia.

Pendukung isu perubahan iklim mengindikasikan bahwa aktivitas manusia menjadi penyebab gejala perubahan iklim oleh sebab itu manusia perlu melakukan langkah-langkah dan perubahan untuk menghentikan gejala ini. Sementara itu para penentangnya berusaha menolak kesimpulan tersebut dan menyatakan bahwa itu semua terjadi karena pengaruh alam yang normal (misalnya: aktivitas matahari atau gunung berapi). Mereka berdalih tidak ada yang aneh dengan semua gejala alam yang ekstrim karena itu merupakan siklus alamiah yang selalu terjadi. Manusia tidak punya salah apa-apa dengan semua gejala alam ini.

Motivasi politis dan ekonomi juga dituduh sebagai penyebab munculnya isu perubahan iklim. Dari negara berkembang, isu ini dipandang sebagai upaya untuk menghentikan upaya mereka mengejar pertumbuhan ekonomi. Sementara itu di negara-negara industri, politisi sayap kanan menuduh isu ini dimaksudkan untuk menggantikan ideologi kapitalis dengan sistem sosialis atau bahkan komunis. Beberapa pihak malah menganggap isu perubahan iklim sebagai konspirasi untuk mewujudkan satu pemerintahan global yang otoriter.

Buku “The Limits To Growth”

Tiga dekade sebelum kontroversi perubahan iklim, tepatnya pada tahun 1972, sudah ada peringatan penting tentang masalah besar yang akan dihadapi peradaban manusia. Club of Rome, sebuah organisasi non profit yang memperhatikan permasalahan global, menerbitkan sebuah buku penting berjudul ‘The Limits To Growth’. Buku ini ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan MIT: Dennis Meadows, Jorgen Randers, Donella Meadows, dan William Behrens. 

Dalam buku tersebut mereka membuat beberapa model komputer untuk melihat pengaruh jejak ekologis manusia (human ecological footprint) terhadap kondisi planet bumi yang terbatas. Yang dimaksud dengan jejak ekologis manusia adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia terhadap alam, baik itu karena proses koloni maupun upaya-upaya eksplorasi sumber daya alam dengan berbagai tujuan. Yang menjadi pertimbangan LTG sebenarnya sederhana: planet bumi bagaimanapun punya keterbatasan sehingga semua bentuk pertumbuhan eksponensial tidak mungkin dibiarkan terus-menerus tanpa upaya pengendalian.



LTG ini menjadi buku tentang lingkungan yang terlaris sepanjang sejarah, terjual lebih dari 12 juta copy dan sudah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa. Sayang sekali buku ini hanya membangkitkan lebih banyak kontroversi ketimbang aksi yang produktif. Banyak media dan kritikus yang menganggap buku ini memprediksi kehancuran peradaban manusia di akhir abad 20 akibat kelangkaan energi dan kerusakan sumber daya alam. Padahal LTG sama sekali tidak bermaksud memberikan prediksi apa-apa, melainkan memberikan beberapa alternatif skenario yang mungkin terjadi berdasarkan berbagai faktor dan kondisi yang ada pada waktu itu.

Sayangnya kesempatan untuk melakukan perubahan ini tidak disorot oleh media dan kaum intelektual yang mengkritik LTG. Akibatnya pesan penting buku ini terabaikan dan tidak ada upaya yang serius untuk melakukan perubahan mendasar hingga akhirnya yang saat ini menjadi kenyataan adalah skenario buruk. Ini ditandai oleh terjadinya berbagai krisis.

Revolusi Mental I: Pendahuluan

Serial posting berikut adalah ringkasan isi dari buku "Revolusi Mental". Semoga ringkasan ini bisa membantu anda untuk memahami apa itu Revolusi Mental dan bagaimana Revolusi Mental bisa menjadi kekuatan perubahan untuk membangun peradaban berkelanjutan di masa depan.

------------------------

PENDAHULUAN

Ada sebuah cerita tragis di balik bencana tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir tahun 2004. Salah seorang yang selamat dari bencana bercerita bagaimana orang-orang di kampungnya yang terletak di pinggir pantai terheran-heran melihat air laut di pantai mendadak surut jauh ke tengah laut. Sebagian orang berlarian menyerbu ke arah pantai untuk mengambil ikan-ikan yang tergeletak di bagian laut yang sudah surut. Hampir semua orang tampak bergembira, sebagian lagi hanya diam mengamati apa yang sedang terjadi. Tapi dia merasakan sesuatu yang aneh dan secara intuitif dia memilih segera pergi menjauhi pantai secepatnya. Keputusan itulah yang akhirnya menyelamatkan dia, sementara sebagian besar orang di kampungnya menjadi korban dari bencana alam dahsyat tersebut.

Apa yang terjadi di Aceh beberapa tahun yang lalu sekarang sedang terjadi dalam skala yang lebih besar. Sudah ada banyak pertanda akan datangnya bahaya yang mengancam peradaban manusia, tapi banyak orang yang tidak menyadarinya atau tidak  peduli. Ada banyak berita tentang perang dan ancaman-ancaman perang, ada krisis lingkungan, krisis energi, krisis pangan, bahkan juga krisis ekonomi yang sedang terjadi silih berganti di berbagai belahan dunia dalam intensitas yang semakin meningkat. Krisis-krisis ini bukanlah krisis yang terpisah dan berdiri sendiri, tapi saling berhubungan satu sama lain dan membentuk satu krisis besar peradaban dengan satu akar permasalahan: manusia. Ini adalah tanda-tanda jaman yang seharusnya menyadarkan manusia untuk segera melakukan perubahan yang mendasar.

Memang semua masih bisa diperdebatkan apakah krisis ini berakar dari kesalahan manusia atau bukan, apakah krisis ini akan berakhir menjadi bencana atau tidak. Perdebatan itu bisa panjang dan bertele-tele tanpa hasil yang positif. Tapi sayangnya kita tidak punya waktu banyak untuk itu dan perubahan sudah harus segera dilakukan. Kita memang tidak pernah tahu apakah akan terjadi bencana peradaban atau tidak. Terlalu riskan kalau hanya menunggu bukti-bukti yang kuat untuk melakukan perubahan, kita sesungguhnya juga punya intuisi yang bisa menjadi dasar untuk mengambil tindakan. Apa yang terjadi jika orang Aceh dalam kisah di atas tidak menggunakan intuisinya dan hanya menunggu bukti yang pasti?

Sesungguhnya tidak ada orang yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kemungkinannya sangat banyak. Tapi seperti prinsip Pascal’s wager: lebih baik bersikap bijaksana menganggap semua krisis ini sebagai tanda-tanda jaman dan melakukan perubahan yang diperlukan untuk mengatasinya (meskipun mungkin bencana tidak terjadi) dari pada melanjutkan kehidupan seperti biasa dan menerima resiko terjadinya bencana peradaban.



Buku sederhana ini bermaksud mengajak anda memahami berbagai krisis yang ada sebagai sebuah krisis peradaban yang menyadarkan kita akan perlunya perubahan yang mendasar. Berbagai keterbatasan yang ada di planet bumi sudah tidak memungkinkan manusia meneruskan kehidupan dengan cara-cara yang sama seperti sebelumnya. Manusia harus segera melakukan perubahan radikal untuk mengatasi masalah. Manusia harus merombak peradaban yang telah membuat manusia meninggalkan Tuhan dan mengarah pada kultur kematian. Selanjutnya manusia harus mulai membangun peradaban baru yang berkelanjutan (sustainable), manusiawi, dan berpusat pada Tuhan.

Semua orang, tidak peduli apapun bangsa dan agamanya adalah penghuni satu planet bumi yang sama. Oleh karenanya semua krisis yang terjadi di dunia seharusnya menjadi kepedulian semua orang tanpa kecuali. Demikian juga setiap orang punya keinginan yang sama untuk membangun masa depan peradaban yang lebih baik. Jadi apa yang menjadi dasar kepedulian dan tujuan dari Revolusi Mental bersifat universal, berlaku bagi semua orang. Pada dasarnya Revolusi Mental ingin mengingatkan kita semua bahwa kehidupan duniawi yang menjadi obsesi jaman modern telah membuat manusia semakin terasing dari nilai kemanusiaannya yang sejati. Oleh karenanya manusia perlu kembali menemukan nilai-nilai spiritualitas yang telah terpinggirkan oleh semangat duniawi.

Dengan demikian gagasan perubahan yang ditawarkan dalam Revolusi Mental juga ditujukan bagi semua orang, tidak bergantung pada afiliasi politik, ideologi, tingkat pendidikan, ataupun agamanya. Revolusi Mental adalah panggilan perubahan yang bersifat universal dan selalu disuarakan di setiap jaman sejak awal sejarah manusia: panggilan untuk kembali menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan. Tapi panggilan itu menjadi makin relevan dan sangat penting di jaman ini ketika batas-batas pertumbuhan di planet bumi memaksa manusia memilih salah satu dari dua pilihan: kembali pada Tuhan dan membangun peradaban baru, atau hancur oleh kultur kematian yang dihasilkan jaman ini.

Seminar Revolusi Mental - 8 Nov. 2014



Kami ingin mengundang anda untuk mengikuti seminar dan workshop "Revolusi Mental". Seminar ini akan berlangsung hari Sabtu 8 November 2014 di Bandung, di jalan Cigadung Timur Raya 107 (C59 factory and shop). Dimulai dari jam 09.59 sampai selesai (sore, sekitar pukul 5).

Seminar dan workshop ini dibagi menjadi dua sesi. Pada sesi pertama Marius Widyarto (pendiri dan pimpinan C59 T-shirt yang juga staff khusus dari Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu) akan memberikan materi mengenai berbagai krisis yang terjadi di dunia dari perspektif seorang pengusaha dan bagaimana kita semua dapat berpartisipasi untuk menjadi bagian dari solusi.

Pada bagian kedua, Agustinus Daniel (penulis buku "Revolusi Mental") akan menjelaskan akar krisis yang terjadi dari sudut pandang Revolusi Mental, dan bagaimana kita bisa memberikan solusi yang radikal (radix = akar) dengan jalan mengembalikan kemanusiaan kita yang hilang melalui Revolusi Mental. Juga akan dijelaskan mengenai sistem ekonomi steady-state sebagai alternatif di masa depan dan bagaimana peradaban yang berkelanjutan tanpa pertumbuhan ekonomi itu sungguh-sungguh mungkin untuk direalisasikan tanpa mengurangi kualitas hidup manusia. Pada sesi ini akan diberikan workshop untuk mempraktekkan Revolusi Mental dalam kehidupan sehari-hari sehingga setelah acara ini selesai semua peserta bisa mulai menjadi bagian dari transformasi menuju peradaban yang lebih baik.

Seminar dan workshop ini tidak dipungut biaya, tapi karena tempatnya terbatas silahkan mendaftar lebih dahulu di 087869565758 (format: nama, alamat, email) atau mentalrevo@yahoo.com sebelum tanggal 7 November 2014 untuk membantu kami melakukan persiapan.

Buku REVOLUSI MENTAL Sudah Terbit


Buku "Revolusi Mental" edisi cetak sudah tersedia.


Jumlah halaman 188 (cover: paperback)
Harga Rp 75 K
(Diskon 20% untuk pembelian sebelum tanggal 10 November 2014)

Ongkos kirim:
Pulau Jawa Rp 7,5 K
Indonesia Bagian  Barat dan Tengah Rp 15 K
Indonesia Bagian Timur Rp 20 K

Pembayaran bisa ditransfer via BCA 7750024879 (Dra. Savitri).
Kirim bukti pembayaran dan alamat lengkap pengiriman buku ke mentalrevo@yahoo.com
Sebagian keuntungan dari penjualan buku akan digunakan untuk aktivitas dan pengembangan gerakan Revolusi Mental global.

-----------------------------------------------------------

Versi digital:


Buku "Revolusi Mental" versi digital sudah terbit dan bisa didapatkan di beberapa toko buku online seperti Amazon, Kobo, Smashwords, Gramediana, dll. Ada dua edisi untuk versi digital: premium (dengan ilustrasi berwarna) dan gratis/free (ilustrasi hitam putih). Anda bisa men-download edisi gratisnya lebih dahulu, jika anda menganggap buku tersebut memberikan nilai tambah silahkan membeli buku edisi premium untuk mendukung kegiatan kami.

Terima kasih.
----------------------



----------------------
Edisi gratis:



Edisi premium: