Minggu, 02 November 2014

Revolusi Mental 14: Doa Berulang-ulang

Revolusi Mental tidak akan berguna apa-apa jika hanya berhenti sebagai konsep yang sekedar memberi inspirasi. Revolusi Mental adalah gerakan nyata yang harus bisa menjadi sumber kekuatan perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang sudah disebutkan pada bab sebelumnya, Revolusi Mental pada dasarnya adalah gerakan ‘back to God’, kembali berpaling dan mengandalkan Tuhan untuk mengubah manusia lama dalam diri kita menjadi manusia baru. Jadi dalam Revolusi Mental yang akan mengubah kita menjadi manusia baru bukanlah upaya dan kekuatan kita  sendiri melainkan kekuatan dan rahmat dari Tuhan.

Revolusi Mental juga tidak bisa dilakukan hanya melalui proses intelektual. Krisis peradaban sudah memberi manusia pelajaran yang sangat berharga untuk tidak lagi meninggalkan Tuhan dan hanya mengandalkan pencapaian akal budi manusiawinya saja. Oleh karenanya Revolusi Mental menjadikan keterlibatan Tuhan mutlak harus ada dalam setiap prosesnya. Dengan demikian Revolusi Mental juga melibatkan spiritualitas di dalamnya. Cara yang digunakan dalam Revolusi Mental sangat sederhana dan dapat dipraktekkan setiap orang, yaitu dengan doa singkat yang diucapkan berulang-ulang. Dengan mengucapkan doa ini setiap hari sesering mungkin maka doa ini akan menjadi bagian dari kesadaran hidup seseorang dan membawa perubahan yang besar.


Doa berulang-ulang seperti ini sangat umum dilakukan oleh semua orang yang menjalani hidup spiritual. Jenis doa ini sudah menjadi bagian dari tradisi spiritual yang ada pada banyak agama besar seperti Hindu, Budha, Yahudi, Katolik, Ortodoks, Kristen Protestan, dan Islam. Dalam tradisi spiritual Hindu dan Budha, doa yang berulang-ulang ini biasanya menjadi bagian dari meditasi spiritual. Orang Katolik punya tradisi doa berulang-ulang semacam ini misalnya dalam Doa Rosario ataupun dalam Doa Koronka (Kerahiman Ilahi). Penganut Gereja Ortodoks juga sangat akrab dengan Doa Yesus yang tidak lain adalah doa singkat yang diucapkan berulang-ulang. Demikian juga dalam tradisi agama Islam, cara berdoa seperti ini dikenal dengan nama dzikir dan biasa dilakukan dengan menggunakan bantuan tasbih. Meskipun relatif baru, dalam kalangan Protestan cara berdoa semacam ini juga mulai diterima, misalnya oleh Gereja Anglikan dan Lutheran.

Jadi doa berulang-ulang ini adalah sebuah cara yang sangat umum, digunakan sejak lama, sudah teruji oleh jaman, dan bisa diterima oleh banyak agama. Bisa dikatakan cara ini sangat universal. Revolusi Mental akan menggunakan cara ini dan membuatnya menjadi sumber kekuatan spiritual sehari-hari yang dibutuhkan untuk mengubah manusia lama menjadi manusia baru.

Revoluri Mental 13: Menemukan Kembali Kemanusiaan Yang Hilang

Revolusi Mental adalah transformasi radikal dari manusia lama yang menjadi sumber krisis peradaban menjadi manusia baru yang kembali hidup dalam kemanusiaannya. Yang diubah dalam Revolusi Mental adalah kualitas manusia, yaitu karakter, sikap mental, dan sudut pandangnya terhadap kehidupan.

Tapi sekarang kemanusiaan seperti apa yang menjadi tujuan perubahan dari Revolusi Mental? Tanpa tujuan yang jelas perubahan yang dilakukan hanyalah sekedar perubahan, bukan perbaikan. Bisa jadi manusia hanya akan mengulangi kesalahan yang sama. Selain itu kita juga tidak bisa mengambil nilai-nilai kemanusiaan ini berdasarkan hasil kompromi atau penalaran akal budi, karena kemanusiaan semacam itu bersifat relatif, spekulatif. dan belum teruji oleh jaman. Resikonya terlalu tinggi.

Solusinya, jika manusia percaya bahwa Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam semesta, maka tentunya Tuhan jugalah yang tahu nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya. Setiap kali kita membeli produk buatan manusia, biasanya akan dilengkapi dengan buku manual yang menjelaskan bagaimana seharusnya kita mengoperasikan produk itu dengan benar. Dengan analogi itu, pasti Tuhan yang menciptakan kita juga memberikan buku manual yang membantu kita mengetahui seperti apa kemanusiaan kita yang sesungguhnya dan bagaimana kita harus menjalankan kehidupan di bumi yang terbatas ini dengan benar.

Sejak revolusi industri, manusia sedikit demi sedikit telah meninggalkan agama dan menggantikannya dengan sains dan teknologi. Dengan demikian manusia telah melupakan buku manual yang diberikan Tuhan dan memilih nilai-nilai kemanusiaan yang dirancangnya sendiri. Mekipun mereka membaca manual pemberian Tuhan ini namun mereka tidak mengerti isinya karena tidak benar-benar mempercayainya. Maka tidak heran kalau manusia hidup dengan cara yang salah, tidak tahu lagi bagaimana berinteraksi dengan alam, dan membangun peradaban yang keliru.
Revolusi Mental mengajak manusia kembali berpaling pada Tuhan dan hidup berdasarkan buku manual yang telah diberikan-Nya kepada manusia, yaitu ajaran agama. Nilai kemanusiaan yang diajarkan Tuhan kepada manusia inilah yang menjadi sumber dari Revolusi Mental. Boleh juga dikatakan bahwa Revolusi Mental adalah gerakan ‘back to God’ yang bertujuan membangun peradaban baru yang lebih baik.


Setiap orang bisa mulai melakukan Revolusi Mental berdasarkan ajaran agamanya masing-masing. Tidak masalah bahwa agama yang berbeda-beda tentu memiliki konsep kemanusiaan yang berbeda-beda juga (saya bukan seorang indiferentis yang percaya semua agama punya ajaran yang sama). Mungkin saja konsep yang berbeda itu membuat visi manusia ideal yang diharapkan setiap orang juga menjadi berbeda-beda. Tapi sesungguhnya hal itu bukanlah hambatan, itu baru menjadi masalah besar kalau kita tidak mengandalkan Tuhan dalam melakukan perubahan. Tanpa keterlibatan Tuhan maka perbedaan visi kemanusiaan ini akan menimbulkan masalah yang rumit dan sulit dicari kata sepakat. Tapi jika kita mengandalkan Tuhan, dan Revolusi Mental ini dilakukan dengan kejujuran serta ketulusan, maka bukan lagi manusia melainkan Tuhan sendiri yang akan membimbing setiap orang untuk memahami kemanusiaan sejati dan universal yang dimaksud-Nya.

Yang harus diingat, prinsip dasar Revolusi Mental adalah ini: melalui pertolongan Tuhan kita berpaling dari manusia lama yang (sedikit atau banyak) menjadi rusak oleh semangat materialisme menjadi manusia baru yang kaya akan nilai-nilai spiritual. Berubah dari manusia yang terobsesi pada pertumbuhan ekonomi menjadi manusia yang berorientasi pada keseimbangan dan harmoni. Dari manusia yang individualistis menjadi manusia yang berorientasi pada komunitas. Dari manusia yang terbiasa mengeksploitasi alam menjadi manusia yang peduli pada kelestarian alam.

Sekali lagi, tidak menjadi masalah dari titik mana (atau dari agama apapun) orang memulai proses perubahan, jika Revolusi Mental ini dijalankan dengan ketulusan dan kejujuran, saya yakin Tuhan sendirilah yang akan membimbing dan membentuk setiap orang untuk menjadi manusia seperti yang Dia inginkan. Pada dasarnya Tuhan menerima setiap orang apa adanya (dari agama apapun, dalam kondisi apapun), tapi Dia tidak akan membiarkan setiap manusia apa adanya. Tuhan akan mentransformasi setiap orang yang kembali kepada-Nya menjadi manusia yang lebih baik. Dalam proses transformasi ini Tuhan sendiri yang akan memberi inspirasi (dan melakukan intervensi jika dibutuhkan) perubahan apa yang dibutuhkan setiap orang untuk menjadi lebih manusiawi dalam hidup yang berpusat pada Tuhan.

Jika globalisasi dan teknologi komunikasi telah mengikis sekat-sekat perbedaan geografis, maka Revolusi Mental akan mengikis sekat-sekat perbedaan agama. Perbedaan geografis tetap ada, tapi sekarang bukan lagi menjadi penghalang untuk membangun komunitas global. Demikian juga perbedaan agama akan tetap ada (Revolusi Mental menolak sikap indiferentisme), tapi itu bukan penghalang bagi semua orang untuk menyadari bahwa kita semua punya masalah yang sama dan sama-sama pula ingin membangun kembali kemanusiaan kita demi masa depan yang lebih baik.
Revolusi Mental mengubah peradaban dunia dengan cara mengubah manusia lebih dahulu, dan ini semua tentunya harus dimulai dari diri sendiri dan bukan menuntutnya dari orang lain. Lebih baik mencungkil balok yang ada di mata sendiri dari pada mengurusi debu di mata orang lain. Dengan mulai mengubah diri sendiri maka kita bisa mengubah keadaan di sekitar kita menjadi lebih baik.
Revolusi Mental tidak berbicara soal membangun sistem ideologi atau tatanan dunia yang baru. Sesuai dengan namanya, Revolusi Mental bukanlah gerakan fisik yang berupaya membangun sistem alternatif dengan meruntuhkan sistem yang lama, melainkan sebuah gerakan non-fisik yang mengubah semangat dunia dengan berawal dari perubahan diri.

Bagaimanakah manusia bisa berbicara soal sistem peradaban atau tatanan dunia yang baru jika mereka yang merancangnya masih manusia lama dengan segala paradigma yang keliru? Bukankah pohon yang buruk hanya menghasilkan buah yang buruk? Oleh karenanya Revolusi Mental memilih untuk fokus pada perubahan mental diri sendiri yang berorientasi untuk membangun peradaban baru yang berpusat pada Tuhan. Apabila manusia sudah menemukan kembali kemanusiaannya yang sejati maka manusiapun akan mampu membangun tatanan dunia yang lebih baik. Hanya dengan cara ini kita bisa berharap semoga peradaban baru yang ideal akan terwujud.

Sabtu, 01 November 2014

Revolusi Mental 12: Solusi Alternatif

Setidaknya ada satu hal baik yang bisa didapat dari krisis peradaban yang sedang terjadi. Krisis ini semacam peringatan yang bisa menyadarkan manusia bahwa ada sesuatu yang salah dan perlu segera diperbaiki sebelum krisis berubah menjadi bencana. Ini merupakan kesempatan untuk mereformasi peradaban manusia. Tapi hampir semua upaya terbaik yang bisa dilakukan manusia sudah dicoba dan masih belum memberikan hasil. Contohnya, krisis ekonomi dunia yang memakan biaya pemulihan begitu fantastis masih belum juga membuat dunia lepas dari krisis.

Saya tetap percaya kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan dengan cara memfokuskan perbaikan pada akar masalah: manusia. Revolusi industri dengan semangat pertumbuhan ekonomi telah membuat manusia kehilangan kemanusiaannya.  Dan ini menjadi sumber semua krisis yang sekarang bermunculan. Upaya merestorasi kembali nilai-nilai kemanusiaan yang hilang ini harus menjadi fokus dalam upaya mengatasi krisis peradaban. Tentu saja upaya penanganan parsial setiap krisis tetap diperlukan dan tetap penting, tetapi perbaikan manusia harus menjadi fokus utama yang tidak bisa diabaikan. Jangan pernah berharap manusia bisa menyelesaikan krisis peradaban ini kalau akar masalah ini tidak tersentuh.

Ini bisa diumpamakan seperti seseorang yang memiliki pola hidup yang tidak sehat seperti kondisi rumah yang kotor, pola makan yang salah dan sebagainya. Ketika orang itu jatuh sakit, tentu saja dia harus ke dokter. Tapi biaya perawatan dan obat yang mahal akan terbuang sia-sia jika pola hidup yang tidak sehat tetap dijalankan. Kesembuhannya hanya sementara dan dalam waktu yang tidak lama ia akan jatuh sakit lagi, mungkin dengan kondisi yang lebih parah.



Saya tidak ingin memandang krisis peradaban ini dengan kaca mata pesimis dan dibayangi oleh ketakutan akan masa depan yang suram. Memang krisis yang terjadi adalah suatu kenyataan pahit yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi ada harapan besar bahwa manusia bisa mengatasi krisis peradaban dengan mulai memperbaiki akar masalah, yaitu melakukan transformasi mental untuk menemukan kembali kemanusiaan yang hilang. Dengan kata lain, manusia harus melakukan Revolusi Mental. Bersama dengan upaya-upaya solusi yang lain Revolusi Mental akan menjadi kunci bagi manusia untuk melewati semua krisis yang terjadi, sekaligus menjadi titik awal untuk membangun sebuah peradaban baru yang lebih baik.

Istilah Revolusi Mental terinspirasi dari sebuah event pemilihan presiden di Indonesia pada tahun 2014. Pada waktu itu salah seorang kandidat presiden yang difavoritkan, Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi, didesak oleh pers untuk menjelaskan visi dan misinya untuk Indonesia. Meskipun kedekatannya dengan rakyat menjadikannya seorang favorit, tapi dalam soal visi dan misi banyak orang mengira ia akan kalah dari kandidat lainnya yang sudah mempersiapkan diri selama 5 tahun. Jokowi baru mempersiapkan diri menjadi kandidat presiden dalam 3 bulan terakhir setelah diminta oleh banyak orang. Tapi jawaban yang diberikan Jokowi sangat mengejutkan banyak orang, “Revolusi mental!” Jokowi menyadari bahwa persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sangat besar dan kompleks, maka proses perbaikan yang bisa membuat negaranya maju harus dimulai dari perbaikan manusia. Revolusi mental yang dimaksud Jokowi memang harus didefinisikan kembali seperti apa bentuk kongkritnya, tapi arahnya sudah sangat tepat.

Saya berpikir ini pendekatan yang sangat bagus dan bisa digunakan juga untuk mengatasi krisis peradaban dunia. Gagasan membangun masa depan yang lebih baik dengan memfokuskan pada upaya perbaikan manusia dapat diterapkan juga pada tingkat global.

Meskipun istilah Revolusi Mental terinspirasi oleh event politik, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan afiliasi politik atau ideologi tertentu. Spiritualitas yang ada di baliknya sudah saya tekuni sejak tahun 1996 dan mewarnai kehidupan spiritualitas saya pribadi. Secara intuitif saya merasa bahwa spiritualitas ini juga bisa diterapkan untuk melakukan Revolusi Mental secara global. Kemudian saya mencoba menggali dan mengadaptasi spiritualitas ini segenerik mungkin agar bisa diterapkan dan diikuti oleh siapapun yang ingin berpartisipasi membangun masa depan peradaban dunia yang lebih baik tanpa memandang afiliasi politik, ideologi, ataupun agama.

Revolusi Mental11: Pertarungan Dua Kubu

Sejak kemunculannya buku LTG telah menuai kontroversi. Karena semangatnya yang berupaya menggugah kesadaran akan bahaya dari kemajuan peradaban, buku ini dikategorikan sebagai bagian dari gerakan anti-kemapanan yang muncul sejak awal tahun 60-an. Gerakan anti kemapanan yang diantaranya dimulai dari Rachel Carson dengan bukunya ‘Silent Spring’ yang mengkritik penggunaan DDT, lalu gerakan kaum hippie menentang perang Vietnam, hingga buku ‘The Population Bomb’ karya Paul Ehrlich.

Beberapa dekade kemudian LTG diperbaharui dan diterbitkan kembali sampai dua kali. Pesannya tetap sama karena menurut Dennis Meadows apa yang disampaikan dalam LTG semakin relevan dengan kondisi yang terjadi. Tapi kritik-kritik terhadap LTG kembali bermunculan.

Hal yang sama juga dialami oleh kampanya pemanasan global / perubahan iklim. Setelah ex-wakil presiden AS Al Gore sukses dengan film ‘An Inconvenient Truth’ dengan mendapatkan piala Oscar untuk kategori film dokumenter serta hadiah Nobel perdamaian, kampanye pemanasan globalnya mendapat kritikan pedas di mana-mana. Mulai dari materi filmnya yang dianggap tidak ilmiah dan menyesatkan sampai kepada tudingan komersialisasi isu pemanasan global.

Perubahan VS Status Quo

Tidak jelas kapan perdebatan yang berlangsung puluhan tahun tanpa hasil ini akan berakhir. Perdebatan ini pada akhirnya tidak menyangkut fakta obyektif, tapi sudah bersifat politis. Sekalipun IPCC dan banyak ilmuwan sudah menyatakan bahwa perubahan iklim adalah fakta ilmiah, perdebatan tetap berlanjut. Semakin terlihat bahwa sebenarnya yang terjadi bukan perdebatan ilmiah, tapi pertarungan antara dua kelompok. Yang satu adalah kelompok yang menginginkan perubahan demi masa depan yang lebih baik dengan terus mengkampanyekan berbagai masalah dan menuntut perubahan. Mereka sering juga disebut sebagai kaum alarmist. Lainnya adalah kelompok yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah mutlak diperlukan demi berlangsungnya peradaban.

Bagi kelompok kedua, sebut saja kelompok skeptis, perubahan boleh saja dilakukan asalkan tidak menyentuh kepentingan mereka yang masih sangat bergantung pada aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Semua perubahan yang menuntut pengurangan aktivitas ekonomi dan industri, atau bahkan tuntutan untuk menghentikan pertumbuhan ekonomi dianggap terlalu mahal untuk direalisasikan dan tidak mungkin dipenuhi. Jika perubahan itu terjadi maka dominasi mereka terhadap dunia yang sudah berlangsung selama berabad-abad akan berakhir. Bisa dipahami jika mereka akan mengupayakan dengan segala kekuatan yang mereka punya untuk mencegah ini terjadi. Masalahnya, kelompok ini didukung oleh kekuatan modal yang sangat kuat, ekonom-ekonom dunia, politikus pemegang kendali pemerintahan, dan media-media besar.

Jika ini terus menerus berlangsung maka apa yang ditakutkan oleh Dennis Meadows dan kawan-kawan bahwa perubahan yang seharusnya segera dilakukan terhambat oleh berbagai perdebatan akan menjadi kenyataan. Ini berarti bahwa dunia akan terus bergerak masuk ke dalam kondisi overshoot, atau dengan kata lain peradaban akan mengalami kolaps.

Kekuatan Rakyat

Memang masih spekulatif, jika kondisi yang ada dengan segala krisisnya berlangsung terus tanpa perubahan maka peradaban manusia akan mengalami kolaps atau tidak. Tidak ada seorangpun yang tahu. Tapi alangkah bijaksananya jika kita tidak mengambil resiko itu. Penyesalan mungkin akan sangat terlambat.

Berbagai krisis yang ada sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dan harus segera dilakukan perubahan. Setidaknya secara intuitif. Perubahan ini perlu dilakukan bukan hanya karena kita takut akan masa depan yang suram dan penuh bencana, tapi terutama karena kita tahu ada yang salah dengan kondisi yang ada saat ini dan kita ingin memperbaiki kesalahan itu. Hanya dengan cara ini kita bisa membangun masa depan yang lebih baik. Kita tidak ingin mengambil resiko yang berbahaya untuk masa depan kita, ataupun membiarkan anak-cucu kita menerima resiko tersebut hanya karena kita tidak ingin berubah.



Melihat perdebatan yang telah berlangsung selama berpuluh-tahun tanpa hasil kita pesimis bisa dicapai kata sepakat dalam waktu dekat. Kita tidak punya waktu untuk menunggu puluhan tahun lagi dan perubahan harus dimulai sekarang juga. Semakin cepat perubahan dilakukan, akan semakin baik hasilnya. Oleh karena itu tidak banyak gunanya menunggu elit-elit penguasa mencapai kata sepakat tentang apa yang harus dilakukan. Semua orang yang berkehendak baik bisa membangun jaringan perubahan global, kemudian bersama-sama menyebarkan gagasan dan gerakan perubahan menuju masa depan yang lebih baik ke orang lain sebanyak mungkin sehingga menjadi kekuatan rakyat yang signifikan. Ini akan menjadi kekuatan ketiga, yaitu kaum revolusioner, atau mungkin lebih tepat kaum transformis, yang memilih untuk melakukan perubahan (dimulai dari diri sendiri).
Gerakan rakyat semacam ini tidak perlu menimbulkan gejolak dan perlawanan dari golongan manapun karena gerakan ini pada dasarnya tidak melawan siapapun selain mengubah diri sendiri menjadi lebih baik. Taktik semacam ini dalam bentuk yang berbeda pernah berhasil dilakukan oleh Mahatma Gandhi dengan gerakan non-kooperatif yang mampu memaksa pemerintah kolonial Inggris memberikan kemerdekaan kepada India. Maka gerakan perubahan diri untuk membangun peradaban yang lebih baik sebagaimana yang ingin diwujudkan dalam gerakan Revolusi Mental, jika dilakukan oleh banyak orang di seluruh dunia akan mampu secara efektif memaksa kaum elit penguasa untuk melakukan perubahan.

Bersama-sama kita bisa katakan ‘tidak’ pada materialisme, katakan ‘tidak’ pada konsumerisme, katakan ‘tidak’ pada pertumbuhan ekonomi, dan katakan ‘ya’ pada Tuhan. Ini akan memaksa penguasa dunia melakukan perubahan. Kaum elit penguasa, baik itu penguasa finansial, pemerintah, maupun kaum industrialis mau atau tidak mau akan beradaptasi dengan perubahan ini jika masih ingin memiliki tempat dalam peradaban. Sejarah sudah pernah membuktikan keberhasilan kekuatan rakyat seperti ini.



Kamis, 30 Oktober 2014

Revolusi Mental 10: Hilangnya Kemanusiaan

Krisis kemanusiaan terjadi ketika manusia secara kolektif telah kehilangan sebagian atau seluruh nilai-nilai kemanusiaannya sehingga tidak mengetahui lagi batas-batas antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang buruk, atau antara yang berharga dan tidak berharga. Tapi masalahnya, saat ini berlaku pandangan umum bahwa nilai-nilai kemanusiaan bersifat subyektif dan relatif, apa yang menurut sekelompok orang merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang penting bisa jadi tidak berarti apa-apa bagi kelompok lain. Agama yang berbeda-beda di dunia ini pada akhirnya juga mempengaruhi relatifnya nilai kemanusiaan.

Karena batasan-batasan yang subyektif ini maka krisis kemanusiaan memang sulit diukur secara kuantitatif. Ironisnya, pandangan yang mengatakan nilai kemanusiaan bersifat relatif dan subyektif sebenarnya justru menunjukkan adanya krisis kemanusiaan karena itu sama artinya dengan ini: manusia sudah tidak tahu lagi nilai-nilai kemanusiaan yang benar. Manusia seharusnya memiliki satu nilai kemanusiaan yang universal dan absolut. Hanya saja saat ini harus dengan rendah hati diakui bahwa manusia belum mencapai kesadaran itu. Perlu proses yang tidak sederhana dan panjang untuk sampai pada kesadaran itu. Tapi setidaknya ada suatu nilai bersama yang bisa diterima sebagai nilai kemanusiaan universal untuk saat ini, yaitu bahwa hidup manusia berharga karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling berharga. Ini standar minimal yang bisa diterima secara umum. Oleh karenanya setiap tindakan yang merugikan, membahayakan atau merendahkan hidup manusia harus disepakati semua agama sebagai tindakan yang tidak manusiawi.

Krisis kemanusiaan menjadi sangat berbahaya karena manusia bisa melakukan tindakan-tindakan destruktif yang merugikan dan membahayakan banyak orang dengan penuh kesadaran dan tanpa rasa bersalah. Manusia sudah tidak menghargai dan tidak lagi peduli pada hidup manusia lainnya. Bom bunuh diri, pembantaian masal, genosida, pembantaian rakyat sipil dalam peperangan, meledakkan bom atom, dan pembakaran hutan adalah contohnya. Dibandingkan semua krisis lainnya, krisis kemanusiaan adalah krisis yang paling mengancam peradaban manusia. Tidak berlebihan jika saya mengatakan krisis kemanusiaan adalah inti sesungguhnya dari krisis peradaban.

Sejak revolusi industri, demi pertumbuhan ekonomi dan bergeraknya mesin-mesin industri manusia memang terus dijejali dengan semangat materialisme dan konsumerisme. Semangat ini tentu saja tidak sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang berasal dari agama. Manusia tidak bisa memiliki dua tuan, oleh karenanya demi pertumbuhan ekonomi manusia secara sistematis juga dijauhkan dari Tuhan dan nilai-nilai agama.

Cara-cara sistematis itu antara lain dengan menempatkan sains dan teknologi lebih penting dari agama. Lalu menyibukkan manusia dengan berbagai kesenangan dan keinginan duniawi seperti mengembangkan industri hiburan secara berlebihan. Misalnya saja, berkembang pesatnya hiburan audio dan visual di berbagai media (termasuk internet) yang terus mengeksploitasi naluri-naluri dasar manusia ataupun berbagai kegiatan pertandingan olah raga yang terus membuat orang rela menghabiskan waktu berharga yang seharusnya disediakan bagi Tuhan. Tidak perlu heran jika industri pornografi menjadi industri yang terbesar di internet dan banyak orang di Eropa dan Amerika Latin yang dengan bangga menjadikan sepakbola menjadi agama baru mereka. Sementara itu dunia akademis juga dibuat semakin sekuler dengan berbagai alasan ilmiah yang semu.

Jika kita cukup kritis, masih ada banyak contoh-contoh upaya sistematis yang dilakukan untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Tapi cukuplah kita tahu bahwa upaya sistematis itu memang ada demi satu tujuan utama: mendukung kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini sebuah kesalahan fatal yang harus dibayar sangat mahal. Hanya dari Tuhan saja manusia bisa menemukan nilai manusiawinya yang sejati, ketika manusia dijauhkan dari Tuhan maka kemanusiaannyapun ikut hilang.

Bisakah anda membayangkan apa yang terjadi jika anda berada di tengah hutan belantara dan tiba-tiba kehilangan GPS, peta dan kompas? Itulah yang terjadi ketika manusia tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai pedoman kebenaran dan sumber nilai-nilai kemanusiaan. Manusia kehilangan arah dan akan berjalan menurut naluri serta logikanya yang serba terbatas, yang hanya akan membuatnya semakin tersesat ke dalam hutan.

Sayangnya proses hilangnya nilai kemanusiaan ini seperti kanker ganas yang menyerang diam-diam dari dalam tubuh. Kehadirannya baru diketahui setelah parah dan merusak banyak organ tubuh. Demikian juga kemanusiaan yang hilang ini baru mulai disadari sebagai masalah ketika membuahkan banyak krisis yang mengancam peradaban manusia.



Kultur Kematian Dan Peradaban Tanpa Harapan

Ketika Tuhan sudah tidak lagi menjadi bagian terpenting kehidupan maka manusia kehilangan tiga hal ini: jalan, kebenaran, dan hidup. Tiga hal penting itulah yang akhirnya membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan menjadi penyebab berbagai krisis yang menghancurkan peradaban.
Dalam konteks membangun peradaban masa depan, kehilangan jalan berarti tidak tahu alternatif apa yang harus dipilih untuk membangun peradaban. Manusia tersesat dan apapun yang dilakukannya hanya akan membuahkan krisis yang makin dalam. Kehilangan kebenaran berarti juga kehilangan nilai-nilai kehidupan dan visi peradaban: manusia tidak tahu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah, sehingga manusia tidak tahu peradaban seperti apa yang harus dibangun di masa depan. Visi peradaban yang dimiliki manusia hanyalah visi-visi pragmatis yang berbeda-beda dari berbagai kelompok yang sudah kehilangan kemanusiaannya. Kalaupun manusia berhasil menyepakati sebuah visi peradaban global bersama, tidak ada jaminan visi peradaban duniawi yang dibangun tanpa menyertakan Tuhan adalah peradaban yang ideal dan berlangsung lama. Kesombongan dan keangkuhan manusia yang merasa mampu membangun masa depan tanpa Tuhan menjadi jaminan bahwa visi peradaban semacam itu akan gagal. Sejarah sudah berkali-kali membuktikan ini dan manusia seharusnya belajar untuk tidak mengulangi lagi. Sementara itu kehilangan hidup berarti juga kehilangan sumber kekuatan surgawi yang membuat manusia dapat menjalani hidup secara manusiawi dan mampu menempuh jalan menuju peradaban masa depan yang ideal.

Kalau manusia sudah kehilangan jalan, kebenaran, dan hidup, lalu peradaban seperti apa yang akan dibangun? Manusia yang sudah kehilangan kemanusiaannya hanya akan membangun kultur kematian dan merancang kehancurannya sendiri. Inilah yang terjadi pada peradaban manusia saat ini.
Dengan kultur kematian, sangat ironis, manusia mulai melihat kehidupan sebagai bencana. Contohnya, ketika berhadapan dengan berbagai krisis maka yang dilihat sebagai masalah serius adalah pertumbuhan populasi (kehidupan), bukan pertumbuhan ekonomi. Dan sebaliknya, manusia mulai melihat kematian sebagai solusi. Contohnya, Cina dengan kebijakan satu keluarga satu anak, aborsi (kematian) jadi pilihan yang dipaksakan kepada pasangan yang memiliki anak lebih dari satu. Bahkan sekarang di banyak negara aborsi dilegalkan dengan syarat-syarat tertentu. Di Indonesia yang mengaku negara ber-Tuhan misalnya, pada tahun 2014 telah diterbitkan sebuah peraturan presiden yang melegalkan aborsi bagi kehamilan di bawah usia 40 hari dengan alasan-alasan tertentu seperti korban perkosaan atau adanya kemungkinan cacat berdasarkan indikasi medis.

Ini semua merupakan tanda-tanda jelas kuatnya kultur kematian di dalam peradaban manusia sekarang ini, sebuah kultur kehidupan tanpa Tuhan yang sudah kehilangan harapan. Jika kehidupan sudah dipandang sebagai bencana dan sebaliknya kematian dianggap sebagai solusi maka masih mungkinkah bisa dihasilkan sesuatu yang baik dari kultur kematian semacam ini? Pohon yang buruk hanya akan menghasilkan buah yang buruk. Demikian juga kultur kematian hanya akan menghasilkan kehancuran peradaban.

Tapi harapan untuk membangun peradaban masa depan manusia masih terbuka kalau saja manusia mau menghentikan kultur kematian ini dan dengan rendah hati mau kembali berpaling pada Tuhan untuk memulihkan kemanusiaannya. Tidak ada jalan lain.



Revolusi Mental 9: Pertumbuhan Ekonomi, Akar Segala Kejahatan

Sebenarnya disinilah letak akar permasalahan semua krisis yang mendera manusia sekarang ini: sejak revolusi industri semangat pertumbuhan ekonomi membuat manusia mulai kehilangan kemanusiaannya. Semangat materialisme ternyata tidak sejalan dengan hidup yang berpusat pada Tuhan padahal semangat materialisme ini mutlak dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Materialisme adalah jiwa dari pertumbuhan ekonomi. Sementara itu manusia tidak mungkin mengabdi pada dua tuan, yang satu harus disingkirkan demi yang lain. Maka secara sistematis peran Tuhan harus disingkirkan dari kehidupan manusia demi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian manusia mulai diarahkan untuk mengabdi pada dewa yang baru sebagai pengganti Tuhan Sang Pencipta: uang.

Bagi para pendukung pertumbuhan ekonomi, sains dan teknologi bisa dijadikan ‘jalan hidup’ alternatif untuk menggantikan agama. Sains dan teknologi yang maju pesat akibat dipicu oleh semangat pertumbuhan ekonomi membuat manusia lebih percaya kepada sains dan teknologi dari pada kepada Tuhan. Manusia mulai meminggirkan peran agama dari ruang publik. Secara sistematis ruang gerak agama makin dibatasi dan perannya terus dikecilkan.

Akibatnya hidup manusia dijauhkan dari nilai-nilai spiritual dan semakin dipenuhi oleh semangat materialisme serta konsumerisme. Sport dan hiburan yang tidak sehat juga dipromosikan secara berlebihan untuk membuat manusia melupakan harta rohani yang dibutuhkannya. Ini mengubah drastis cara pandang manusia terhadap alam, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan. Atau dengan kata lain, hilangnya nilai-nilai spiritual membuat manusia juga kehilangan kemanusiaannya yang utuh. Sebuah kesalahan fatal yang baru dirasakan akibatnya setelah terakumulasi selama dua abad lebih. Tidak perlu heran jika sekarang alam tidak lagi bersahabat dengan manusia.



Dengan demikian sumber semua krisis yang terjadi saat ini adalah sikap manusia sendiri yang menempatkan pencapaian material sebagai nilai hidup yang lebih penting dari nilai-nilai yang lain. Kondisi ini berlangsung cukup lama dan kolektif sehingga mewarnai norma peradaban.
Jadi sangat benarlah perkataan ini: cinta akan uang adalah akar dari semua kejahatan. Manusia harus menyadari bahwa cinta akan uang yang termanifestasi dalam fanatisme terhadap pertumbuhan ekonomi pada akhirnya hanya membuat manusia kehilangan kemanusiaannya dan menjadi sumber dari berbagai krisis lain yang mendera peradaban manusia. Hilangnya kemanusiaan ini juga yang kemudian menjadi penyebab langsung dari krisis kemanusiaan yang begitu menonjol akhir-akhir ini.

Banyaknya krisis yang terjadi, termasuk krisis kemanusiaan, seharusnya memberi pelajaran berharga bagi manusia bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya sudah gagal. Obsesi manusia terhadap pertumbuhan ekonomi telah menjadi penyebab utama timbulnya berbagai krisis. Tragedi 9/11 sesungguhnya adalah sebuah pertanda bagi manusia bahwa pertumbuhan ekonomi (disimbolkan oleh gedung WTC) akan dihancurkan oleh masalah yang dibuatnya sendiri (disimbolkan oleh tindakan teroris yang tidak manusiawi). Manusia harus mengubur ide-ide pertumbuhan ekonomi selamanya jika ingin terbebas dari krisis peradaban.

Ini bukan soal ideologi sebab baik kapitalisme maupun komunisme tetap berdasarkan pada semangat materialisme yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Bedanya, kapitalisme mengandalkan pasar bebas sementara komunisme mengandalkan sistem distribusi kesejahteraan yang dikendalikan pemerintahan otoriter. Dua-duanya juga sudah terbukti gagal total. Runtuhnya Uni Soviet adalah bukti kegagalan komunisme, sementara krisis finansial yang sudah terjadi dan masih akan terjadi adalah bukti kegagalan kapitalisme.

Banyak orang berharap bahwa sistem hibrida yang memadukan ide-ide komunis dan kapitalis seperti yang dipraktekkan Cina bisa menjadi alternatif. Pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastis di tengah kelesuan ekonomi negara-negara industri lain dianggap sebagai buktinya. Tapi selama pertumbuhan ekonomi tetap menjadi semangatnya maka sistem ideologi apapun tidak akan berhasil.

Selasa, 28 Oktober 2014

Revolusi Mental 8: Revolusi Industri, Pemicu Pertumbuhan Eksponensial

Dengan melihat sejarah kita bisa mengetahui bahwa faktor populasi dan pertumbuhan ekonomi mulai mendapat peran dominan sejak revolusi industri. Faktor pertumbuhan ekonomi dan populasi mendapatkan momentum untuk bertumbuh secara eksponensial sejak munculnya semangat revolusi industri. Memahami mengapa fenomena ini bisa terjadi akan menjadi faktor kunci yang membantu kita mengerti akar masalah.

Pada tahun 1765 James Watt berhasil memperbaiki cara kerja mesin uap ciptaan Samuel Newcomen sehingga membuat mesin tersebut lebih efisien dan dapat diaplikasikan untuk banyak kegunaan. Ini menandai dimulainya penggunaan mesin dan energi fosil dalam bidang industri yang akan mengubah wajah dunia. Penggunaan mesin dan energi fosil membuat produktivitas manusia meningkat sangat pesat sehingga ikut mengubah cara hidup manusia secara radikal. Ini kemudian dikenal dengan sebutan revolusi industri.

Pemilik modal mulai memanfaatkan industri untuk memproduksi barang-barang demi meraih keuntungan. Mereka memproduksi barang jauh melebihi yang sebenarnya dibutuhkan manusia. Barang-barang ini harus diserap oleh pasar supaya industri terus berjalan, maka semangat materialisme dan konsumerisme juga ikut dikembangkan untuk menunjang dunia industri. Dengan cara ini manusia mudah dibujuk untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Etika yang digunakan dalam revolusi industri sangat pragmatis: demi keuntungan (pertambahan kapital), tidak menjadi penting barang apa yang diproduksi selama itu semua bisa diserap oleh pasar, bagaimanapun caranya. Akibatnya pertumbuhan ekonomi, bukan kebutuhan manusia, menjadi jiwa dan kekuatan utama yang menggerakkan revolusi industri.

Revolusi industri juga mendorong sains dan teknologi untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang membuat dunia industri semakin memiliki kekuatan dalam menghasilkan banyak barang dan hidup manusia menjadi tampak lebih mudah. Dalam dunia transportasi, mobil membuat manusia bergerak lebih cepat. Kemajuan teknologi telekomunikasi membuat manusia mampu berhubungan dengan siapapun tanpa hambatan jarak. Dalam dunia kesehatan, banyak penyakit berbahaya yang bisa diatasi dan harapan hidup manusia makin meningkat sehingga memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan populasi. Karena sains dan teknologi mampu memberikan hasil yang nyata maka manusia mulai menempatkan sains dan teknologi lebih tinggi dari agama.

Pada awal perkembangannya, dampak industri terhadap lingkungan tidak begitu dirasakan dan sumber daya alam juga masih sangat berlimpah. Dengan demikian manusia belum melihat dampak buruk dari pertumbuhan industri. Sangat bisa dipahami jika dalam kondisi seperti ini industri dan semangat pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai sebuah anugerah bagi manusia. Akibatnya nilai-nilai yang menunjang pertumbuhan ekonomi seperti materialisme dan konsumerisme, serta pendewaan terhadap sains dan teknologi terus berkembang dan menjadi bagian dari pandangan dunia modern.


Semangat mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa batas membuat industri terus memproduksi barang-barang. Akibatnya manusia terus mengeksplorasi alam secara berlebihan dan merusak ekosistem. Sementara itu harga energi fosil yang murah mendorong industri untuk menciptakan dan memproduksi alat transportasi berbahan bakar energi fosil dan perlengkapan rumah tangga yang menggunakan listrik. Ini semua berkontribusi besar pada peningkatan konsumsi energi dan polusi.

Media yang dibiayai industri (paling tidak dari iklan) juga terus mempromosikan semangat konsumerisme. Demikian juga bank-bank yang membiayai industri ikut berkepentingan untuk terus memberikan kredit konsumsi. Ini semua agar barang-barang hasil industri terserap oleh pasar dan semua pelaku ekonomi dapat bagian keuntungan. Sekarang, ini semua menimbulkan masalah lingkungan yang berdampak luas dan merusak, bahkan ikut berperan penting yang memunculkan banyak krisis lainnya. Tapi manusia dengan semangat materialisme yang dominan sudah terlanjur bergantung pada barang-barang hasil industri dan seolah tidak bisa hidup tanpa itu. Akibatnya alternatif  lain dari pertumbuhan ekonomi sepertinya mustahil.